Distorsi Pemidanaan pada Pemanfaatan Ganja untuk Kepentingan Medis
Oleh: Litya Surisdani Anggraeniko
Polemik penggunaan ganja untuk kepentingan medis kian meruncing, penegakannya kini dihadapkan fakta terkait dengan pidana bagi individu yang mendayagunakan ganja. Padahal diantara mereka menggunakan ganja untuk kepentingan diri sendiri dan/atau orang lain atas dasar kebutuhan kesehatan bukan untuk kepentingan rekrasional semata. Masalahnya, hukum pidana yang berlaku di Indonesia tidak memiliki pengecualian terhadap hal ini, sehingga menggunakan dapat mengkriminalisasi perbuatan tersebut dengan dalih penyalahgunaan.
Salah satu kasusnya adalah Reynhart.RS yang kedapatan mengkonsumsi ganja untuk pengobatan sakit kelainan syaraf yang diderita akibat pekerjaannya sebagai porter, ia harus berhadapan dengan hukum. Reynhart bukanlah orang pertama, sebelumnya di tahun 2017, terdapat Fidelis.AS yang menggunakan ganja untuk mengobati istrinya yang mengidap syringomyelia, turut ditahan, selama masa penahanan kondisi istrinya semakin memburuk hingga akhirnya meninggal dunia.
Kedua kasus ini akan terus berulang dengan nama yang berbeda pada setiap waktunya, hal ini diakibatkan Indonesia masih menerapkan pelarangan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan. Dengan larangan ini, jelas dokter enggan memberikan resep ganja karena dianggap ilegal.
Secara historis di Indonesia, ganja diklasifikasan sebagai tanaman bermanfaat yang digunakan sebagai obat berbagai penyakit. Hal ini berdasarkan laporan the useful plants of the dutch east indies (tanaman-tanaman bermanfaat Hindia-Belanda Timur) yang mana di dalam daftarnya terdapat spesies cannabis sativa atau ganja.[1] Ahli Botani Jerman-Belanda G.E Rumphius menulis tentang penggunaan cannabis indica untuk rekreasi dan medis, dalam bukunya Herbarium Amboninense (1741) menjelaskan bahwa di wilayah Ambon akar ganja dikonsumsi sebagai obat gonorea dan juga penyakit lainnya. Namun kini, ganja bergeser sebagai zat yang dilarang karena termasuk dalam Golongan I Narkotika dalam UU Narkotika.
Sejak dikeluarkannya UU 9/1976 Tentang Narkotika, pemerintah mulai menerapkan sanksi pidana bagi pengguna narkotika. Tetapi, hukuman pidana kian meningkat hingga adanya undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Faktanya, penerapan sanksi pidana tersebut tidak berdampak terhadap angka perdagangan gelap narkotika. Permasalahan lainnya lahir dari pendekatan punitif adalah overcwording pemasyarakatan khususnya kasus narkotika.
Pasal 4 huruf a UU Narkotika sejatinya menjamin adanya keresediaan narkotika (ganja) untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pun ini selaras dengan tujuan konvensi tunggal narkotika dimana Indonesia telah meratifikasinya. Hal demikian apabila terus dihiraukan, tentu akan bergerser menjadi kriminalisasi masyarakat terhadap penggunaan ganja yang sejatinya ada untuk kesehatan masyarakat itu sendiri.
Aspek filosofis menjelaskan, Pasal 4 merupakan kewajiban negara untuk menyediakan akses narkotika yang mana merupakan pemenuhan hak atas kesehatan bagi warga negara, tafsir lainnya adalah narkotika memiliki dua sisi, yakni sebagai obat pelayanan kesehatan dan juga pengembangan ilmu pengetahuan. Ini merupakan legitimasi pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
[1] Heyne K, De nuttige planten van NederlandschIndië: Tevens synthetische catalogus der verzamelingen van het museum voor economische botanie te Buitenzorg, Batavia: Ruygrok & Co, 1916.