KASUS TEDDY MINAHASA: SALAH SATU KUNCI REFORMASI POLISI DAN REFORMASI KEBIJAKAN NARKOTIKA
Perang terhadap narkotika dan kebijakan narkotika puntif di Indonesia telah usang, justru hanya menumbuhsuburkan aparat koruptif. Cita-cita utopis dunia tanpa narkotika tak akan pernah tercapai. Reformasi kebijakan narkotika harus dilakukan dengan dekriminalisasi dan mengatur pasar teregulasi narkotika.
Beberapa waktu belakangan ini masyarakat di Indonesia kembali dihebohkan dengan kasus dugaan perdagangan ilegal narkotika yang melibatkan perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang berinisial TM dan jajaran bawahan. Dalam kasus tersebut, TM saat itu sedang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat. Kasus tersebut saat ini telah memasuki persidangan dan sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakarta Barat). Tahapan persidangan kasus TM di PN Jakarta Barat akan memasuki agenda penuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Agenda penuntutan tersebut telah dijadwalkan oleh PN Jakarta Barat akan digelar pada tanggal 30 Maret 2023.
Dalam persidangan kasus TM dan kasus terkait lain, banyak fakta yang terungkap melalui keterangan-keterangan saksi dan membuat publik mempertanyakan pelaksanaan kewenangan dan akuntabilitas Polri dalam implementasi kebijakan narkotika.
Persidangan TM seolah menjadi kotak pandora praktik busuk implementasi kebijakan narkotika yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH), khususnya pada saat ditangani oleh kepolisian. Profil TM yang pernah memegang beberapa jabatan strategis di institusi Polri menjadi cermin buruk, bahwa APH dalam posisi tinggi pun bisa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, dan justru tak menjalankan jargon kebijakan narkotika yang selama ini selalu dipromosikan.
Sebelumnya, dalam kasus Freddy Budiman, Freddy Budiman pernah mengungkapkan bahwa terdapat keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkotika yang dilakukannya. Persidangan kasus TM dan kasus terkait lain seolah mengkonfirmasi apa yang disampaikan oleh Freddy Budiman sebelum ia dieksekusi mati pada tahun 2016 lampau. Berdasarkan hal tersebut, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) dan Reformasi Kepolisian (RFP), memiliki beberapa catatan terkait permasalahan implementasi kebijakan narkotika, yang menandakan pentingnya reformasi kebijakan narkotika dan reformasi polisi.
Pertama, praktik penjebakan. Dalam persidangan tanggal 1 Maret 2023, TM menyatakan ingin menjebak L dengan sabu-sabu. Niat menjebak L tersebut muncul lantaran L sempat memberikan informasi yang salah kepada TM pada tahun 2019. Fakta persidangan demikian mencerminkan bahwa perkara narkotika rentan direkayasa. Penjebakan berbeda dengan undercover buy dan controlled delivery, penjebakan sama sekali tidak boleh ada dalam penanganan tindak pidana.
Kedua, aparat koruptif jadi “pengaman” peredaran gelap. Dalam persidangan tanggal 15 Maret 2023, L menerangkan, TM meminta bayaran sejumlah 100 miliar rupiah untuk mengawal dan meloloskan sabu sebanyak 1 ton sabu dari Taiwan. Apa yang disampaikan L tersebut kembali mengamplifikasi informasi dari Freddy Budiman yang menyebutkan bahwa terdapat oknum APH yang memberikan perlindungan kepadanya saat mengedarkan sabu di Indonesia. Persesuaian keterangan L dengan Freddy Budiman seolah mengkonfirmasi praktik busuk penyalahgunaan kewenangan APH yang memberikan perlindungan kepada para bandar narkotika. Ini menandakan, justru kebijakan narkotika ala ala war on drug malah menumbuhsuburkan keuntungan untuk aparat koruptif, kalau saja negara mengendalikan ketat regulasi pasar narkotika, pasar gelap ini akan ditekan kemunculannya.
Ketiga, penyelewengan barang bukti narkotika. Dalam persidangan tanggal 16 Maret 2023, TM menerangkan bahwa anggota polisi sudah biasa menyisihkan barang bukti narkotika untuk di hisap-hisap sendiri dan lain sebagainya. Selain itu, TM sendiri diduga memerintahkan anak buahnya, Kapolres Bukit Tinggi, D, untuk mengganti barang bukti sabu-sabu menjadi tawas. Barang bukti yang disisihkan dari hasil pengungkapan kasus tersebut kemudian diduga akan dijual kembali oleh komplotan TM, sehingga TM dan komplotannya bisa mendapatkan keuntungan dari jual-beli tersebut. Tata kelola kebijakan narkotika yang buruk berkelindan dengan peluang penyalahgunaan kewenangan yang tinggi.
Keempat, mal administrasi penanganan perkara narkotika. Keinginan TM untuk menjebak L, menggunakan bawahannya, D, karena L telah memberikan informasi yang salah kepada TM sehingga TM mengalami kerugian puluhan miliar rupiah. Penjebakan tersebut disinyalir akan dilakukan dengan metode undercover buying atau pembelian terselubung. Pasal 79 UU Narkotika telah mengatur bahwa teknik undercover Buying harus disertai dengan surat izin pimpinan. Upaya TM menjebak L karena motif pribadi, jika dilakukan dengan metode pembelian terselubung, jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut. Biasa sekali prosedur tak diindahkan, bahkan aturan mengenai prosedur ini tak cukup dipahami aparat sekelas Kapolda.
Kelima, pimpinan polisi justru menghalangi pemeriksaan perkara (obstruction of justice). Dalam persidangan pada tanggal 1 Maret 2023, D menceritakan bahwa ia mendapatkan surat kecil dari TM. Di hadapan Majelis Hakim, TM mengakui bahwa surat kecil tersebut merupakan tulisan tangannya sendiri. Isi surat tersebut memerintahkan agar D mencabut keterangan yang memberatkan TM, dan meminta kepada D untuk bergabung menjadi satu tim, serta “buang badan” kepada orang lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Kasus TM sejatinya merupakan cerminan bagaimana rekayasa kasus narkotika bisa dengan mudah dilakukan oleh APH menggunakan kewenangan yang dimilikinya, jargon perang terhadap narkotika bahkan tak juga ditegakan aparat sendiri.
Laporan LBH Masyarakat (LBHM), pada tahun 2012, menyebutkan 83 responden mengaku sebagai korban rekayasa kasus. Maraknya rekayasa kasus ini juga seperti difasilitasi oleh UU Narkotika. Sangat mudah bagi polisi untuk melakukan rekayasa kasus, melakukan penjebakan karena adanya pasal penguasaan narkotika yang oleh MA bahkan telah disebut “pasal keranjang sampah”
Kebijakan narkotika borok paling nyata tidak akuntabelnya proses hukum oleh aparat. Justru perang terhadap narkotika dan kebijakan punitif yang dihadirkan menumbuhsuburkan peredaran gelap yang dilakukan aparat, karena sangat menggiurkan secara ekonomi. Hal ini menandakan dalam pasar narkotika yang tidak teregulasi yang mengendalikan pasar adalah pelaku kriminal dan aparat koruptif, pengguna narkotika hanya menjadi korban, termasuk korban korupsi penanganan kasus.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi dan Jaringan reformasi Kebijakan Narkotika, mendesak:
- Polri untuk melakukan tindak lanjut soal narasi _“polisi biasa melakukan ini”,harus ada komitmen penegakan;
- Komnas HAM, Kompolnas, Ombudsman dan Komisi III DPR RI melakukan investigasi dan pengawasan mandiri terhadap kasus ini untuk menekan Polri evaluasi pelaksanaan kebijakan narkotikanya, yang koruptif dan penuh kekerasan;
- Pemerintah dan DPR harus segera memikirkan ulang kebijakan narkotika. Pasar gelap hanya akan dikendalikan aparat koruptif, cita cita dunia tanpa narkotika tidak mungkin terjadi. Sehingga kebijakan narkotika harus dengan dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika untuk kepentingan pribadi, pengguna harus menjadi domain kesehatan bukan aparat, pasar tergulasi narkotika harus dicetuskan. Dekriminalisasi bukan legalisasi tanpa kontrol. Tapi negara mengatur dan mengambil alih.
- Pemerintah dan Parlemen segala melakukan revisi hukum acara yang memuat safeguards mechanism pengaturan penanganan perkara narkotika dalam hukum acara pidana, termasuk soal kewenangan teknik investigasi khusus perkara narkotika.
Jakarta, 29 Maret 2023
Hormat Kami,
Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Polisi dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika
(ICW, ICJR, YLBHI, AJI, KontraS, PBHI, Rumah Cemara, LBHM, PKNI, WHRIN, AKSI, LGN, IPPNI, PPKNP, Womxns Voice, dan FARI)