Seruan Perombakan UU Narkotika: Menghindari Kelebihan Kapasitas Lapas hingga Menghentikan Peristiwa Salah Tangkap
Pemerintah Indonesia mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Pernyataan ini menegaskan adanya upaya untuk menekan peredaran komoditas tersebut. Sebagai implikasinya, melalui berbagai lembaga hukum, pemerintah gencar menghukum terpidana narkotika. Sayangnya, pilihan ini tidak selalu tepat sasaran. Terdapat banyak sekali salah tangkap pada kasus narkotika dan obat-obatan (narkoba). Pada kesalahan tersebut, mayoritas korbannya adalah kelompok masyarakat marjinal, seperti perempuan pekerja rumah tangga.
Selain banyaknya kasus salah tangkap, pidana pada pengguna narkotika juga menambah banyak masalah. Banyak negara lain—yang hukum narkotikanya lebih maju—memperlakukan pengguna narkoba sebagai pasien. Sebab mereka membutuhkan penanganan medis untuk memulihkan adiksinya. Hukum Indonesia yang masih menganggap para pengguna narkotika sebagai kriminal menyulitkan penanganan medis dan memperbesar stigma mereka. Banyaknya pemidanaan tersebut juga membuat masalah baru, yaitu kelebihan kapasitas (overcrowding) di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Menanggapi beberapa kekurangan Undang-Undang (UU) Narkotika, Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) bersama dengan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) meluncurkan riset mengenai UU Narkotika di Indonesia melalui diskusi publik bertajuk ‘Paparan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika Rekomendasi Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)’ pada hari Selasa (22/02/2022) lalu. Riset tersebut ditujukan untuk mendorong perbaikan UU Narkotika, terutama pada perbaikan tata kelola bagi pengguna dan pecandu narkotika. Selain itu, ICJR dan JRKN juga meluncurkan website mereka: https://reformasinarkotika.org/web2024/.
Erasmus Napitupulu (ICJR) membuka peluncuran. Ia menegaskan hasil riset ICJR dan JRKN, di mana terdapat kegagalan dalam regulasi narkotika di Indonesia. “Kebijakan narkotika hari ini gagal, perang narkotika gagal, (sedangkan—red) beban masalah di sistem peradilan kita disumbang oleh UU Narkotika,” ujarnya. Erasmus menyerukan pihak berwenang untuk membuka kembali permasalahan terkait regulasi dan mendorong pembaruan sistem peradilan pidana narkotika di Indonesia. Selanjutnya, Putri Tanjung (Indonesian Board, Women and Harm Reduction International Network) selaku moderator dalam peluncuran ini, turut menyatakan dukungannya terhadap wacana revisi UU Narkotika.
“Saat ini diperlukan regulasi baru terkait tata kelola narkotika, untuk memberikan perlindungan pada masyarakat berbasis penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), penghindaran dampak buruk dan instrumen koersif dalam regulasi narkotika, dan pengutamaan kesehatan publik,” ujar advokator hak perempuan pengguna narkotika dalam penjara tersebut.
Raynov Tumorang (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan [LeIP]) membuka sesi paparan dengan usulan merevisi UU Narkotika. Berdasarkan riset, disebutkan latar belakang penyusunan UU Narkotika masih bertumpu pada upaya kriminalisasi pengguna narkotika. Hal ini menyebabkan overcrowding di lapas. Atas hal itu, diusulkan perubahan terminologi, mengubah penggolongan narkotika, dan menguatkan hak rehabilitasi bagi pengguna melalui intervensi kesehatan. Raynov juga memaparkan kemungkinan pelaporan sukarela, yaitu ketika pengguna narkotika melaporkan kondisinya secara sukarela pada panel asesmen. Dalam panel asesmen, tidak ada penegak hukum, melainkan hanya ada tenaga medis. Demikian, pengguna narkotika tak bisa dipidana dan berhak mendapat rehabilitasi.
Menyambung paparan rekannya, Maidina Rahmawati (ICJR) juga mendorong perbaikan hukum acara dan rumusan ketentuan pidana dalam UU Narkotika. Dalam hukum acara pidana narkotika, perbaikan yang diusulkan adalah mengenai pemusatan kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada peredaran gelap narkotika. Penyidik diusulkan hanya berwenang pada penangkapan dalam kepemilikan melewati ambang batas. Hal ini dapat menyempitkan penindakan pidana pada pengedar gelap saja, bukan pada pengguna. Selain itu, pada ketentuan pidana, Maidina mendorong pencantuman unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana narkotika. Hal ini bertujuan mencegah peristiwa narapidana narkotika yang terlanjur dihukum, lalu di kemudian hari terbukti tidak bersalah.
Panitia peluncuran juga mengundang beberapa panelis untuk memberi tanggapan. Panelis pertama, Edward O.S. Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM Indonesia) menyebut narkotika sebaga kejahatan tanpa korban (victimless). Atas dasar itu, pengguna tidak seharusnya dipidana, melainkan direhabilitasi. Ia memberikan argumen; narapidana narkotika paling banyak terdapat di Sumatra Utara, yang menyebabkan lapas-lapas di daerah itu overcrowded hingga hampir 300%. “Kebijakan Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2012 (tentang narkotika—red) yang tidak memberikan hak remisi dan lainnya ini adalah trouble maker,” ujar Edward.
Panelis selanjutnya, Asmin Fransiska (Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya), menanggapi paparan dengan komparasi terhadap kebijakan negara lain. Prinsip dekriminalisasi terhadap pengguna menjadi prinsip kunci. Belanda dan Spanyol, yang lebih maju dalam hukum narkotika, mengutamakan intervensi medis. Di Belanda, penyalahgunaan narkotika medis—seperti ganja medis—sangat minim, karena hukum mengutamakan kontrol ketat terhadap penggunaan narkotika medis lewat pemantauan dokter. “Akan sangat baik apabila intervensi medis bersama dengan pelayanan sosial yang didahulukan, dibanding dimasukan ke dalam lapas, rehabilitasi dalam lapas, atau masukan ke lapas secara paksa—yang penekanannya adalah fungsi penghukuman, bukan dari fungsi dari kesehatan dan layanan sosial,” tuturnya.
Panelis terakhir, Ardhany Suryadarma (JRKN), juga mendorong dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika. Dua cara pandang terhadap narkotika, yaitu sebagai komoditas dan setan, memiliki implikasi yang berbeda. Pemerintah Indonesia melalui Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika melihatnya sebagai komoditas, sehingga penggunanya serta merta dilabeli kriminal. Demikian, langkah dekriminalisasi harus mengubah cara pandang pengguna—dari kriminal menjadi pasien. Pemberian peringatan, wajib lapor, kerja sosial, maupun rujukan pada layanan kesehatan tertentu dapat menjadi alternatif selain pemenjaraan.
Seperti produk hukum lainnya, UU Narkotika juga hendaknya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan paradigma hukum. Kriminalisasi terhadap pengguna narkotika bukanlah langkah ampun untuk memutus rantai peredaran narkoba. Perang terhadap narkoba dapat dilakukan sesuai paradigma HAM yang humanis. Dengan demikian, perang terhadap narkotika tidak akan menjadi sekadar jargon, tapi menjadi langkah progresif.
Penulis: Nada Salsabila
Baca artikel lengkap di sini