Laporan Situasi Kebijakan Pidana Mati di Indonesia 2022: Tak Ada yang Terlindungi
ICJR menerbitkan laporan tahunan situasi kebijakan pidana mati di Indonesia sejak 2016. Dalam rangka mempublikasikan dan mendiskusikan temuan-temuan dalam laporan periode 2022, ICJR menyelenggarakan webinar peluncuran pada Rabu, 12 April 2023 secara daring. Dalam acara webinar, ICJR mengundang dua orang penanggap yakni pembuat kebijakan dan akademisi, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Tim Perumus RKUHP) dan ahli/akademisi internasional yang banyak menggeluti riset tentang pidana mati yakni Prof. Daniel Pascoe (City University of Hong Kong).
ICJR menemukan penambahan dengan total 132 kasus pidana baru yang dituntut dan/atau divonis dengan pidana mati dengan jumlah terdakwa sebanyak 145 orang sepanjang 2022. Meskipun tidak menunjukkan tren peningkatan dari 2020, namun penambahan kasus baru pada 2022 masih menunjukkan angka lebih tinggi yakni sebanyak 91 kasus dibanding sebelum pandemi yang tercatat pada 2019 yakni 48 penambahan kasus dalam rentang waktu yang sama (27 Maret hingga 9 Oktober).
Dalam laporan periode 2022, temuan penting yang diangkat antara lain mengenai tren penjatuhan pidana mati dalam perkara narkotika yang setiap menduduki mayoritas kasus pidana mati di Indonesia. Dari total 132 kasus hukuman mati, 93% atau 123 kasus di antaranya merupakan perkara narkotika, sedangkan sisanya antara lain 3 perkara Pembunuhan Berencana (2%); 2 perkara Pembunuhan Berencana dan Kekerasan terhadap Anak Mengakibatkan Kematian (1%); 1 perkara Pembunuhan Berencana, Kekerasan terhadap Anak Mengakibatkan Kematian, dan Perkosaan Anak (1%); 1 perkara Perkosaan Anak Menimbulkan Korban Lebih dari 1; 1 perkara Perkosaan Anak Mengakibatkan Luka Berat dan Menimbulkan Korban Lebih dari 1; dan 1 perkara Tindak Pidana Korupsi (1%).
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan Dr. Daniel Pascoe dalam webinar peluncuran berikut, “The Human Rights Committee of the UN … whose role is to interpret the provisions of ICCPR to give the official interpretation of the treaty. I have interpreted repeatedly Art. 6 (2) as the mean of ‘the most serious crimes’ as crimes that lead immediately to lethal consequences. What that mean effectively is that many countries in breach of that requirement. Any country including Indonesia that makes non-lethal crimes eligible for the death penalty is in breach of that requirement” menunjukkan bahwa penggunaan pidana mati untuk kasus-kasus yang tidak berakibat langsung pada kematian termasuk yang terjadi di Indonesia merupakan pelanggaran terhadap ICCPR. Hal ini juga sejalan dengan temuan kasus dalam laporan periode 2022 yang menunjukkan mayoritas kasus bahkan tidak berakibat langsung pada kematian seperti kasus narkotika, korupsi, dan perkosaan anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 tanpa mengakibatkan korban meninggal.
Pada aspek perkembangan kebijakan, laporan periode ini juga secara khusus mengulas ketentuan pidana mati dengan pemberian masa percobaan 10 tahun secara otomatis untuk menunda eksekusi sebagaimana diatur dalam KUHP baru yang disahkan pada 2 Januari 2023 dan akan berlaku 3 tahun kemudian. Selain itu, dalam laporan ini juga memuat pemetaan jenis-jenis tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati pada Buku II KUHP baru yang dibandingkan dengan KUHP sebelumnya yang saat ini masih berlaku.
Laporan periode tahun 2022 juga merespon secara khusus soal penggunaan pidana mati sebagai bentuk hukuman populis pada kasus-kasus seperti kekerasan seksual, korupsi, dan narkotika. Tren yang berkembang tersebut hanya menjadi distraksi bagi penegakan hukum tanpa benar-benar berfungsi sebagai solusi penanganan kejahatan.
Hal tersebut diperkuat dengan temuan dalam laporan periode 2022 ini bahwa terdapat setidaknya 10 terdakwa yang sebelumnya pernah dituntut dan/atau divonis pidana mati kemudian kembali dituntut dan/atau divonis dengan pidana mati untuk kedua kalinya. Kesemuanya terlibat dalam perkara narkotika, baik pada kasus yang pertama maupun kasus yang kedua. Hal ini kembali membuktikan bahwa pendekatan penghukuman yang keras yakni dengan menerapkan pidana mati memang sama sekali tidak dapat diandalkan untuk mengendalikan masalah peredaran gelap narkotika yang terus terjadi.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam terkait penerapan pidana mati di Indonesia ke depan, Prof. Tuti menyampaikan tanggapannya berikut, “… apakah kita sama dengan negara-negara di Barat yang terpidana matinya kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, status sosialnya rendah, … itu buat saya menarik untuk didalami lagi.” Latar belakang sosial orang-orang yang terancam pidana mati memang menjadi isu yang sangat relevan untuk dibahas dalam rangka memberikan bukti empiris bahwa pidana mati memang ditargetkan hanya untuk orang-orang dari kalangan menengah ke bawah, kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan sulit mendapatkan akses terhadap keadilan secara memadai.
ICJR memberikan rekomendasi khususnya kepada beberapa pemangku kepentingan:
Pertama, kepada Pemerintah untuk melakukan moratorium penuntutan hukuman mati, tidak memerintahkan eksekusi mati, karena politik hukum pidana mati telah berubah dan seluruh terpidana mati akan menjadi subjek assessment untuk pengubahan hukuman, dan menyegerakan proses assessment dan memutuskan pengubahan hukuman mati, sesuai dengan komitmen UPR, paling tidak terhadap sekitar 101 terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu lebih dari 10 tahun per Maret 2023;
Kedua, kepada pembuat kebijakan (Pemerintah dan DPR) untuk memastikan materi revisi UU Narkotika juga termasuk soal penghapusan ketentuan pidana mati dan pada proses pembahasan revisi KUHAP, mengatur ketentuan hukum acara yang lebih ketat bagi orang-orang yang didakwa, dituntut dan dipidana dengan pidana mati;
Ketiga, kepada Mahkamah Agung untuk melakukan moratorium penjatuhan pidana mati dan mengedepankan pidana jenis lainnya dalam memutuskan perkara yang ditangani; dan
Keempat, kepada Lembaga Negara yang Tergabung dalam Mekanisme Pencegahan Nasional Anti Penyiksaan (Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, LPSK) untuk secara aktif melakukan pemantauan pada tempat-tempat penahanan terpidana mati dalam konteks pencegahan penyiksaan dalam deret tunggu.