Darurat Kondisi Pandemi: ICJR, IJRS dan LeIP serukan 5 Langkah Darurat yang Perlu Dilakukan Presiden terkait Kondisi Rutan dan Lapas
Darurat Kondisi Pandemi: ICJR, IJRS dan LeIP serukan 5 Langkah Darurat yang Perlu Dilakukan Presiden terkait Kondisi Rutan dan Lapas
Presiden Joko Widodo mengumumkan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat berlaku mulai 3-20 Juli 2021, namun bentuk aturan resmi pemberlakukan PPKM ini masih belum tersedia. Dalam pemberlakuan PPKM yang diumumkan tersebut, terdapat sejumlah kegiatan yang dibatasi untuk dilakukan dan juga terdapat target mengenai pencapaian vaksinasi sebesar 70% dari total populasi pada kota/kabupaten prioritas paling lambat bulan Agustus 2021.
Dalam kondisi darurat pendemi ini, ICJR, IJRS dan LeIP memberikan catatan mendasar pada perlakuan terhadap WBP dan Tahanan di Rutan dan Lapas di Indonesia, terkait dengan penyebaran covid-19 dan program vaksinasi. Hingga saat ini tidak ada data pasti yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai penyebaran covid-19 di Rutan dan Lapas secara update dan real time. Klaster covid-19 pun terus bermunculan di dalam Lapas. Terakhir, pada 1 Juli 2021, 65 warga binaan di Lapas Kelas II A Kuningan terkonfirmasi positif COVID-19. Satu-satunya data terbuka soal ini tersedia dari paparan Menteri Hukum dan HAM itu pun pada Februari 2021 lalu, melaporkan terdapat 4.343 WBP, termasuk anak-anak yang telah terinfeksi Covid-19, juga terdapat 1.872 Petugas Pemasyarakatan yang terjangkit. Data ini tidak dapat dipantau secara berkala oleh masyarakat, intervensi penanganan Covid-19 di Lapas minim dari pengawasan publik, karena sumber informasi hanya berasal dari pihak Lapas dan Kementerian Hukum dan HAM tanpa komitmen penyampaian ke publik secara berkala.
Kondisi ini juga diperburuk dengan adanya overcrowding Rutan dan Lapas yang terus merangkak naik. Sempat berhasil ditekan hingga pada Maret-Mei 2020 lalu, dari angka overcrowding 99% menjadi 69%, nyatanya sekarang overcrowding Lapas dan Rutan terus merangkak naik bahkan lebih buruk dari sebelum kondisi pandemi. Pada Februari 2020 overcrowding di angka 98%, sedangkan sekarang, pada Juni 2021 angka overcrowding mencapai 100%, dengan jumlah penghuni mencapai 272.000 orang sedangkan kapasitas hanya 135.000 orang. Tidak hanya dalam Rutan dan Lapas di bawah pengawasan Menteri Hukum dan HAM, kelebihan penghuni tentu saja juga pasti terjadi di tempat penahanan lainnya seperti kantor kepolisian, meskipun tidak ada data pasti seperti informasi di Rutan dan Lapas di bawah pengawasan Kemenkumham.
Hal lain yang penting disorot, hingga kini WBP dan Tahanan tidak pernah menjadi prioritas vaksinasi. Tidak ada program khusus pemerintah yang menjamin vaksin harus segera diberikan kepada seluruh WBP dan Tahanan, padahal mereka tidak dapat melakukan physical distancing. Dalam skema vaksinasi WHO, harusnya WBP dan Tahanan masuk ke kelompok prioritas kedua setelah tenaga kesehatan. Hal ini menimbulkan tanda tanya terkait komitemen Pemerintah dalam memperhatikan kesehatan WBP dan Tahanan.
Memang telah dilakukan upaya untuk mencegah penyebaran covid-19 di Rutan dan Lapas dengan kebijakan asimilasi di rumah dan Integrasi WBP yang tertuang dalam Permenkumham No. 10 tahun 2020/No. 32 tahun 2020/No. 24 tahun 2021. Kebijakan ini menurut Kemenkumham pada 2020 berhasil mengeluarkan 55.929 WBP dan 1.415 anak penerima hak integrasi, serta 69.006 WBP dan anak penerima hak Asimilasi di rumah. Sedangkan pada 2021, , tercatat 16.387 WBP, 309 anak menerima hak integrasi, serta 21.096 narapidana dan anak menjalankan asimilasi di rumah. Sayangnya upaya tersebut tidak kunjung berhasil mengurangi jumlah penghuni Rutan dan Lapas, arus masuk tetap tinggi. Tercatat, jumlah penghuni terus naik. Kondisi ini menunjukkan tidak ada sinergisitas antara Kemenkumham dengan Apgakum seperti kejaksaan dan kepolisian dalam menekan angka overcrowding, angka pemenjaraan terus naik.
Apabila mengacu pada ketentuan WHO, maka Kemenkumham dan aparat penegak hukum bisa memberikan prioritas utama pada kelompok anak, perempuan, orang tua serta orang yang sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis yang lebih. Apabila dikhususkan lagi maka narapidana perempuan, orang tua serta orang yang sedang sakit dan membutuhkan perawatan medis yang lebih bisa ditentukan indikator-indikator penentuan kelompok yang diprioritaskan. Seperti perempuan yang sedang mengalami kehamilan seperti merujuk kelompok rentan yang diutamakan apabila terjadi suatu musibah.
Kondisi ini sekali lagi menandakan Pemerintah perlu segera menerapkan dan membangun sistem yang mempuni untuk adanya alternatif penahanan rutan, dan alternatif pemidanaan non pemenjaraan. Penahanan dan pemidanaan dalam lembaga ini terbukti membawa masalah ketika adanya pandemi seperti ini.
Atas hal ini, sebagai langkah darurat, ICJR, IJRS dan LeIP menyerukan Presiden untuk:
1. Menerbitkan kebijakan penghentian penahanan dalam lembaga bagi Kepolisian dan Kejaksaan, dengan memaksimalkan bentuk lain: penangguhan penahanan dengan jaminan, tahanan rumah, tahanan kota.
2. Melanjutkan kebijakan asimilasi di rumah untuk WBP.
3. Menerbitkan kebijakan pengeluaran WBP berbasisi kerentanan untuk WBP lansia, perempuan dengan anak atau beban pengasuhan, dengan riwayat penyakit bawaan dan pecandu narkotika.
4. Menerbitkan kebijakan untuk vaksinasi langsung dan segera bagi seluruh penghuni rutan dan lapas termasuk penghuni rutan selain di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
5. Menerbitkan kebijakan untuk Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dengan memaksimalkan alternatif pemidanaan non pemenjaraan misalnya pidana percobaan dengan syarat umum dan syarat khusus ganti kerugian, pidana denda, rehabilitasi rawat jalan untuk pengguna narkotika.
Jakarta, 2 Juli 2021
Hormat kami,
ICJR, IJRS, LeIP