Menunggu Undian Masuk Penjara

 

Oleh: Ratna Triwulandari

Desember 2020 publik digetarkan hatinya akibat meninggalnya Musa Ibn Pedersen, putra ibu Dwi salah satu penggugat Uji Materil Pelarangan Penggunaan Narkotika Golongan I untuk Kepentingan Kesehatan dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).

Musa mengidap cerebral palsy atau lumpuh otak, yakni kelainan pada saraf dan otot yang mengganggu kemampuan motorik pengidapnya1. Pada 2016, Musa sempat diberi terapi menggunakan asap ganja dalam ruang tertutup yang hasilnya mampu menghentikan kejang yang dialaminya. Saat kembali ke Indonesia, UU Narkotika memutus akses ganja, yang merupakan narkotika golongan I untuk keperluan pengobatan.

Seperti tragedi yang terulang kembali, empat tahun lalu istri Fidelis Ari yang mengidap penyakit langka Syringomyeila juga meninggal dunia akibat terputusnya akses ganja untuk keperluan pengobatan2. Fidelis telah bersusah payah mengobatkan istrinya ke berbagai rumah sakit dan herbal, akan tetapi belum ada obat yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Kemudian, Fidelis mencari informasi mengenai penyakit Syringomyelia melalui berbagai media dan akhirnya menemukan ekstrak ganja untuk mengobati istrinya3. Fedelis divonis bersalah atas tindakannya ini pada 2017, pengobatan terapi ganja pun dihentikan pada istrinya, kemudian istri meninggal dunia. Hilangnya nyawa dua orang tersebut menjadi bukti bahwa pada kasus ini negara belum hadir dan mememuhi hak atas kesehatan kepada masyarakat.

Sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 25 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya4. Bahkan kebebasan untuk memilih pengobatan yang diinginkan merupakan perwujudan dari hak atas kesehatan. Masyarakat berhak memilih menggunakan metode pengobatan seperti apa, menggunakan jamu atau terapi, atau bahkan menggunakan ganja sebagai alternatif pengobatan. Seperti pada kasus diatas, penanganan pada penyakit langka yang belum ditemukan obatnya dan membutuhkan ganja karena bersifat urgent untuk menyambung nyawa. Akan tetapi karena berbenturan dengan hukum yang ada, pengobatan tersebut tidak disediakan, bahkan dilarang.

Padahal jika dilihat dari sejarah kebudayaan, ganja telah 12,000 tahun menyuburkan peradaban manusia. Bahkan di Indonesia juga memiliki sejarah kebudayaan yang erat kaitannya dengan ganja. Pada mulanya ganja diperbolehkan untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia. Akan tetapi pada tahun 1961 dengan terbitnya Konvensi Tunggal tentang Narkotika yang memasukan ganja sebagai narkotika, setara dengan opium (papaver), dan kokain (koka) dan Indonesia meratifikasi kebijakan tersebut menjadi UU Narkotika nomor 8 tahun 1976, yang kemudian UU tersebut berubah sampai menjadi UU Narkotika nomor 35 tahun 2009 justru melarang setiap perbuatan berkaitan dengan penggunaan ganja, termasuk untuk kepentingan kesehatan. Undang-undang ini parahnya sampai saat ini masih digunakan walaupun banyak yang merugikan warga negara, semua harus tunduk dengan peraturan hukum dengan dalih perlindungan rakyat.

Makin hari keberadaan pengguna ganja medis semakin mengkhawatirkan. Media sering memberitakan penangkapan penggunaan ganja untuk medis di berbagai kota di Indonesia. Miris rasanya. Entah itu pengguna, pengedar, kurir, bandar, semua diberantas ke akar-akarnya sampai dengan hak asasi manusianya. Seseorang yang berani menggunakan ganja sebagai alternatif pengobatan pasti memiliki pengetahuan yang lebih dan memiliki tekad untuk sembuh serta keberanian yang luar biasa dalam memerangi hukum, meskipun pada akhirnya mereka hanya menunggu undian masuk penjara. Hal ini sudah seperti siklus yang berulang dengan kasus yang sama, hanya saja berada di wilayah yang berbeda. Pengguna ganja dikriminalisasi dan dimasukkan jeruji besi. Kebebasan memilih alternatif pengobatan dibatasi dengan alasan terdapat jenis pengobatan lain yang tersedia selain ganja.

Seperti pada kasus yang menimpa Reinhart Rossy N. Sahaan pada tahun 2019. Dia menderita penyakit kelainan saraf sejak 2015 dan tidak kunjung sembuh dan mengganggu aktivitasnya. Kemudian ia merebus ganja kering untuk meredakan nyeri tersebut dan sialnya ia ditangkap polisi5. Kasus serupa juga terjadi di Kota Surabaya, seorang pemuda ditangkap polisi atas kepemilikan 28 pot ganja yang ditanam secara hidroponik. Alasan ia menanam ganja dirumah adalah untuk mengobati menyakit sarafnya yang tak kunjung sembuh. Istrinya dengan gelisah mengatakan kepada saya bahwa suaminya memiliki riwayat sakit saraf yang jika kambuh akan mengalami kejang. Bahkan dalam kondisi tidur pun kejang. Kalau masih ingat, alm. Henry Boomerang beberapa kali terjerat pemenjaraan akibat menghisap ganja untuk meredakan penyakit bronkitis.

Hal ini hanyalah segelintir kisah apes yang dialami oleh beberapa orang demi merebut hak atas kesehatan mereka. Kisah lain dari penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan dan memiliki dampak baik dan menandakan adanya kemajuan dalam proses penyembuhan. Akan tetapi pengobatan tersebut terhenti akibat adanya ketakutan atas kebijakan pelarangan narkotika yang berjalan seperti undian masuk penjara. Ganja tidak menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan masa depan bangsa, akan tetapi penjara yang mengurung cita-cita dan harapan untuk sembuh dari penyakit dan hidup dengan sejahtera. Jika ada yang mengatakan bahwa ganja merusak masa depan bangsa, maka saya sepakat dengan pernyataan ini bahwa:

“Tidak ada satupun negara yang ingin merusak generasi mudanya seperti Kanada, Australia, Uruguay, dan negara lain yang sudah meregulasi ganja.”

 

Referensi :
1. https://www.vice.com/id/article/k7848m/profil-dwi-pertiwi-penggugat-uu-narkotika-di-mahkamah-konstitusi-agar-ganja-medis-legal-di-indonesia
2. https://regional.kompas.com/read/2017/11/16/14505631/akhir-perjuangan-suami-yang-obati-istrinya-dengan-ganja-fidelis-bebas-dari?page=all#:~:text=Akhirnya%20sang%20istri%20meninggal%20pada,bisa%20sembuh%20dan%20bertahan%20hidup.
3. https://regional.kompas.com/read/2017/11/16/14505631/akhir-perjuangan-suami-yang-obati-istrinya-dengan-ganja-fidelis-bebas-dari?page=all#:~:text=Akhirnya%20sang%20istri%20meninggal%20pada,bisa%20sembuh%20dan%20bertahan%20hidup.
4. komnasham.go.id/index.php/news/2021/1/7/1643/menyoal-pentingnya-hak-atas-kesehatan.html#:~:text=Kabar%20Latuharhary%20–%20Hak%20atas%20Kesehatan,kesejahteraan%20dirinya%20sendiri%20dan%20keluarganya.
5. https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-kasus-reyndhart-rossy-konsumsi-ganja-untuk-obat-kelainan-saraf.html

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)