Reformasi Kebijakan Narkotika di Indonesia untuk Mencegah Overcriminalization
oleh: Rifki Alfian Wicaksono
Narkotika sudah dinilai menjadi musuh yang besar baik di lingkup Negara Indonesia maupun lingkup internasional. Walaupun pada perkembangannya banyak negara-negara kemudian telah memilih jalan dekriminalisasi dalam penanganan kasus-kasus narkotika. Negara-negara yang telah memilih pendekatan dekriminalisasi terhadap narkotika yaitu, Portugal, Kosta Rika, Peru, Ceko Uruguay, Belanda, Jerman dan masih banyak lagi negara yang memilih membuka diri terhadap narkotika. Negara-negara tersebut memiliki berbagai alasan yang kemudian menjadi latar belakang adanya pengaturan penggunaan narkotik dalam rangka kepentingan medis dan teknologi, rekreasional dan perekonomian.
Narkotika di Indonesia masih dianggap sebagai musuh dalam sudut pandang masyarakat maupun hukum yang berlaku. Sehingga mengakibatkan adanya overcriminalization. Bahkan pada beberapa tahun ke belakang hingga tahun 2021 jargon “War on Drugs” masih menjadi jargon utama dalam penegakan hukum. Hal ini terlihat menjadi menakutkan ketika membicarakan “perang melawan narkoba”.
Overcriminalization, atau lebih dikenal sebagai kriminalisasi berlebih menjadi akibat dari narasi-narasi yang dibentuk dalam masyarakat terhadap narkotika sehingga kemudian cara pandang masyarakat maupun penegak hukum menjadi semakin kaku dan memiliki sentimen yang negatif terhadap narkotika. Pembentukan kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh sudut pandang yang berlebihan terhadap perang terhadap narkoba tersebut.
Indonesia memiliki aturan hukum dalam penanganan narkotika yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pada perjalanannya UU tersebut menuai banyak kritik dalam substansinya. Salah satunya adalah tingkat kriminalisasi berlebih dan tidak mampunya UU tersebut membedakan penyalahguna, pengedar dan bandar narkotika itu sendiri. Catatan ini kemudian dibuktikan secara empiris di mana kasus narkotika memiliki persentase tinggi di dalam lembaga pemasyarakat (lapas) yaitu 50% warga binaan dari total keseluruhan warga binaan dengan kasus lain.
Pada perjalanannya dampak dari adanya overcrowding lapas telah menjadi masalah besar dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dan terindikasi telah melanggar hak asasi manusia warga negara yang telah di atur dalam UUD NRI 1945. Para warga binaan khususnya kasus narkotika menjadi salah satu korban atas adanya kebijakan narkotika yang salah.
Pada saat terjadinya kebakaran Lapas kelas I Tangerang yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 48 orang warga binaan yang rata-rata merupakan warga binaan yang terjerat kasus narkotika dan sebagai penyalahguna. Pada peristiwa lain, yaitu kekerasan yang dialami warga binaan di Lapas Narkotika kelas IIA Yogyakarta. Telah menjadi kebiasaan dilakukan para petugas dalam memperlakukan warga binaannya. Sehingga banyak korban mengalami kekerasan secara verbal maupun fisik yang mengakibatkan luka ringan, sedang, berat hingga cacat seumur hidup. Bahkan pada acara Mata Najwa yang mengangkat judul kekerasan di dalam lapas, terdapat pandangan yang kemudian menyatakan “Harus adanya penegakan yang lebih disiplin terhadap para warga binaan kasus narkotika”. Sehingga kemudian implementasi dari disiplin tersebut seolah menormalisasi kekerasan yang dilakukan terhadap warga binaan.
Pendekatan kebijakan yang cenderung represif dan memiliki sanksi yang tinggi terhadap narkotika ternyata belum memiliki bukti ampuh dalam memberantas kasus-kasus narkotika. Pendekatan secara represif seharusnya bukan menjadi tombak utama dalam menanggulangi kasus narkotika namun menjadi sebuah langkah akhir dalam menyelesaikan kasus narkotika. Seharusnya pendekatan secara preventif lebih dikedepankan dalam pencegahan kasus-kasus narkotika. Pemerintah seharusnya memiliki kurikulum pendidikan terhadap narkotika dalam rangka pencegahan warga negaranya, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat. Karena pada kenyataannya penyalahgunaan narkotika tidak pernah memandang taraf pendidikan yang dimiliki, namun yang menjadi faktor adalah tidak adanya pemahaman yang mendasar dalam memperlakukan narkotika. Selain itu penanganan yang lebih bijak dan optimal terhadap kasus-kasus narkotika juga sangat dibutuhkan dengan berbagai fasilitas penunjang seperti lembaga rehabilitasi kesehatan maupun sosial. Perbaikan stigma terhadap pihak yang tejerat kasus narkotika akan menjadi langkah awal dalam reformasi kebijakan narkotika. Serta menjadikan proses pidana sebagai ultimum remedium (senjata akhir) dalam penanganan kasus narkotika.