Revisi UU Narkotika Jangan Hanya Memindahkan Overcrowding Lapas Ke Lembaga Rehab
[MEDIA RILIS WEBINAR RUU NARKOTIKA USULAN MASYARAKAT SIPIL DAN PELUNCURAN https://reformasinarkotika.org/web2024]
Pada September 2021 lalu, merespon terjadinya kebakaran Lapas Kelas IA Tangerang, Menteri Hukum dan HAM menyebut bahwa UU Narkotika menjadi biang kerok overcrowding dalam rutan dan lapas di Indonesia. Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) sepakat dengan hal ini bahwa kebijakan narkotika yang memuat banyak pasal karet untuk memenjarakan pengguna narkotika menjadi penyebab utama overcrowding. Pendekatan penghukuman dan pemenjaraan bagi pengguna narkotika dengan demikian harus dilakukan reformasi.
Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). JRKN yang merupakan jaringan 17 organisasi masyarakat sipil yang melakukan advokasi reformasi kebijakan narkotika di Indonesia, telah menginiasikan penyusunan NA dan RUU Narkotika dengan fokus pada perbaikan tata kelola bagi pengguna dan pecandu narkotika, dengan dasar jaminan untuk tidak ada pemidanaan dan pemenjaraan bagi pengguna dan pecandu narkotika. Untuk itu, Pada 22 Februari 2022 ini kami melakukan Diskusi Publik: Paparan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika Rekomendasi JRKN, yang dihadiri oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dan Rumah Cemara sebagai perwakilan JRKN sebagai penanggap.
Rekomendasi JRKN berbasis pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, penghindaran dampak buruk dan pengutamaan kesehatan publik, serta penghindaran mekanisme pidana dan instrumen koersif lainnya sebagai respons yang dominan dalam tata kelola narkotika. Kami merekomendasikan beberapa perubahan mendasar dalam UU Narkotika:
Pertama, ketentuan umum berkaitan dengan definsi pengguna, pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna narkoitka. Saat ini di dalam UU Narkoitka terdapat klasifikasi subjek yang begitu membingungkan, menstigma dan tidak konsisten satu sama lain antar isi UU. Dalam Revisi UU Narkotika rekomendasi JRKN, kami merekomendasikan kepastian penamaan subjek dalam UU harus konsisten dan tidak menstigma. Pembedaan subjek harus hanya dalam pembagian pengguna dan pengedar. Setiap penggunaan untuk kepentingan pribadi tidak dipidana dan dilakukan penanganan dengan pendekatan kesehatan. Pada bagian ini kami menyarankan defenisi yang diharapkan mengurangi stigma, yaitu dengan menggunakan defenisi “orang yang menggunakan narkotika” dan “orang yang mengalami ketergantungan narkotika”
Kedua, kami memperkenalkan skema “Intervensi Kesehatan Terhadap Pengguna Narkotika” sebagai bentuk dekriminalisasi pengguna narkotika di Indonesia, menjamin setiap orang yang kedapatan menguasai/memiliki narkotika dalam jumlah ambang batas (threshold) harian 1-7 hari tidak menjadi subjek dari proses pidana melainkan dikirimkan kepada “Panel Asesmen” di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang terdiri dari 2 (dua) orang tenaga ahli kesehatan dari fasilitas kesehatan terkait dan 1 (satu) orang dari komunitas/konselor adiksi. Panel ini akan menentukan intervensi apa yang dapat diberikan kepada orang yang menggunakan narkotika tersebut. Perlu kami tekankan skema ini adalah respon non-kriminal, yang menempatkan alternatif penentuan intervensi pengguna narkotika berbasis kesehatan. Intervensi ini tidak musti selalu rehabilitasi dalam lembaga, bisa dalam bentuk rehabilitasi dalam lembaga, rehabilitasi rawat jalan, konseling, bahkan sampai dengan tidak ada intervensi apapun. Yang perlu kami garis bawahi, tidak semua pengguna narkotika harus menempuh rehabilitasi, apalagi rehabilitasi berbasis hukuman, Laporan Narkotika tahunan UNODC 2019 menyatakan bahwa hanya 1 dari 9 orang pengguna narkotika yang mengalami problematic use (UNODC:2019), hanya 13% mengalami disorder dalam penggunaan narkotikanya. (UNODC:2020). JIka reformasi kebijakan yang direkomendasikan hanya rehab, apalagi dengan rehab berbasis hukuman, permasalahan overcrowding hanya akan berpindah ke tempat-tempat rehabilitasi.
Ketiga, berkaitan dengan tata cara penggolongan narkotika, kami merekomendasikan adanya penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara penentuan penggolongan narkotika di Indonesia. Saat ini penentuan golongan narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, masyarakat hanya mendapat narkotika jenis tertentu ditentukan masuk dalam golongan tertentu, tanpa publik mengetahui basis pengetahuan dan justifikasinya seperti apa. Kami merekomendasikan revisi UU Narkotika juga memuat kewajiban adanya PP yang mengatur tata cara penentuan golongan. Terkait penggolongan ini, kami juga merekomendasikan penghapusan larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan.
Keempat, berkaitan dengan pengaturan hukum acara pidana kasus narkotika yaitu berkaitan dengan kewenangan BNN hanya pada peredaran gelap narkotika dan perkursor narkotika, penyidik polri dan BNN hanya berwenangan sampai dengan penangkapan untuk kepemilikan dalam ambang batas (threshold). Sesuai dengan rekomendasi Global Drugs Commission, negara dapat memfokuskan diri menggunakan pendekatan hukuman hanya pada tindak pidana peredaran gelap narkotika, apalagi telah diperkenalkan “Intervensi Kesehatan Terhadap Pengguna Narkotika” yang menggunakan pendekatan kesehatan. Sehingga, aparat penegak hukum dapat berfokus pada peredaran gelap. Tindak lanjut dari hal ini adalah kami merekomendasikan pengaturan tentang metode penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Selama ini tidak dapat diakses pengaturan yang jelas tentang metode ini, sehingga kewenangan ini terselenggara tidak akuntabel. Kami merekomendasikan bahwa metode ini hanya dapat diterapkan untuk menyidik peredaran gelap, harus disertai bukti permulaan cukup, harus setelah mendapatkan surat izin Kepala Kejaksaan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri, diatur mengenai jangka waktu dan kewajiban menyerahan berita acara dan penagasan bahwa metode ini sebagai objek pra-peradilan. Lainnya, kami juga merekomendasikan pengembalian pengaturan penangkapan hanya dapat dilakukan 1×24 jam sesuai dengan KUHAP.
Kelima, perombakan ulang ketentuan pidana yang selama ini berisi pasal-pasal karet biang kerok overcrowding rutan dan lapas. Kami merumuskan ulang gradasi tindak pidana memastikan ketentuan pidana hanya berlaku bagi “penguasaan narkotika di atas ambang batas penggunaan harian (threshold)”, Mencantumkan unsur kesalahan “dengan sengaja” ke dalam rumusan tindak pidana narkotika untuk menjamin unsur melawan hukum dipertimbangkan secara eksplisit karena sering kali orang terjerat dalam penguasaan narkotika tanpa dia mengetahuinya; Menghapus larangan perbuatan penggunaan narkotika untuk diri sendiri/ penyalahguna (karena telah dijangkau dengan skema “Intervensi Kesehatan Terhadap Pengguna Narkotika”; Menghapus pidana minimum khusus dan pidana mati dari ketentuan pidana narkotika; dan merumuskan ketentuan peralihan yang mewajibkan Pemerintah dalam waktu 6 bulan memberikan penilaian untuk WBP Pengguna Narkotika dalam pemasyarakatan, dengan jaminan pengeluaran jika WBP tersebut adalah pengguna narkotika.
JRKN juga meluncurkan web advokasi kebijakan narkotika, yang dapat diakses di reformasinarkotika.org , rekan-rekan dapat membaca artikel, dan webinar lainnya seputar reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Nantinya, ketika RUU Narkotika sudah dibahas di DPR, JRKN akan berusaha menelusuri dan membuka akses publik pada draft RUU Narkotika terbaru, pembahasan di DPR, dan dokumen-dokumen terkait pembahasan di DPR.
Web ini kami maksudkan untuk membuka akses terhadap keadilan, yang kami percaya bermula dari keterbukaan informasi dan keterlibatan bermakna masyarakat dalam pembahasan kebijakan di level tertinggi.
Hormat Kami,
JRKN
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba