JRKN Usulkan Pengguna Tidak Dipidana dalam RUU Narkotika

Raynov Tumorang

Kecuali konsumsi dan kepemilikan melebihi batas maksimal bisa diproses hukum. Ada intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika melalui kelembagaan Panel Assesment di bawah Kementerian Kesehatan. 

Meskipun masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022, pembahasan Revisi Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika masih jalan di tempat. Tapi rencananya, pembahasan bakal digelar DPR bersama pemerintah sekitar Juni 2022. Dalam rangka memperkaya materi muatan dalam draf RUU Narkotika, ada sejumlah masukan dari elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN).

Anggota JRKN, Raynov Tumorang Pamintori Gultom dalam paparannnya mengatakan terdapat banyak masukan dari koalisi masyarakat yang fokus terkait reformasi kebijakan narkotika. Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan bagi pembentuk UU dalam merumuskan RUU Narkotika.

Pertama, perlunya mengubah terminologi. Dalam penerapannya, UU 35/2009 menggunakan beberapa terminologi, seperti pecandu, penyalahguna, korban penyalahgunaan. Dalam usulannya, sejumlah terminologi tersebut tak perlu lagi digunakan atau dihapus. Dalam RUU Narkotika cukup menggunakan terminologi “pengguna narkotika” yakni orang yang menggunakan narkotika untuk diri sendiri. Dengan begitu, pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi tidak dipidana, namun menggunakan pendekatan kesehatan.

“Kami mengusulkan pengguna dan pengedar saja. Jadi tidak ada lagi kategori selain penguna dan pengedar. Perubahan ini diharapkan bisa memastikan penamaan subjek dalam RUU Narkotika berlaku secara konsisten dan tidak lagi menstigma pengguna narkotika,” ujar Raynov dalam diskusi daring bertajuk “Paparan RUU Narkotika Rekomendasi JRKN”, Selasa (22/2/2022).

Kedua, penggolongan narkotika. Dalam Pasal 6 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan, “Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri”. Bagi JRKN, rumusan norma itu perlu diubah menjadi “Ketentuan mengenai tata cara perubahan penggolongan narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

“Dengan begitu, semula UU 35/2009 mendelegasikan perubahan tata cara penggolongan narkotika melalui Permen, menjadi PP. Kemudian, penggolongan jenis narkotika terbaru dapat dilakukan di tingkat Permen,” ujar Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) itu.

Yang pasti, kata Raynov, penentuan perubahan penggolongan harus transparan berdasarkan bukti adanya laporan kesehatan yang jelas, mendalam, dan berdasarkan ilmu kesehatan. “Serta melibatkan atau menerima pertimbangan organisasi profesi, masyarakat sipil, kelompok pakar lainnya baik dalam proses pembahasan maupun pengambilan keputusan,” harapnya.

Ketiga, mengubah Pasal 8 UU 35/2009 yang melarang penggunaan narkotika golongan I bagi kepentingan pelayanan kesehatan menjadi “Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapat persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan”.

Keempat, intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika. JRKN mengusulkan pergeseran konsep rehabilitasi dari kewajiban menjadi hak yakni berhak mendapatkan layanan rehabilitasi medis dan sosial. Selain itu, terdapat rehabilitasi keagamaan/tradisional. Rehabilitasi ini menggunakan pendekatan keagamaan dan tradisional dengan tetap memperhatikan norma hak asasi manusia ataupun kaidah yang diterima luas dalam ilmu pengetahuan.

Kelima, adanya mekanisme baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU 35/2009 yakni panel assessment. Tugas panel assessment memeriksa kondisi kesehatan pengguna narkotika dan/atau memberi intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika. Kemudian, berwenang melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya untuk kepentingan intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika.

Kedudukannya berada di bawah pengawasan dan koordinasi menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Sedangkan akses terhadap panel assessment wajib disediakan hingga fasilitas layanan kesehatan tingkat primer yakni Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Menurutnya, program rehabilitasi sudah berjalan di tingkat di Puskesmas. Nantinya, keberadaan panel assessment memperkuat Puskesmas. Panel assessment terdiri dari 2 orang tenaga ahli kesehatan dan 1 orang dari komunitas/konselor adiksi. Sedangkan unsur aparat penegak hukum ataupun akademisi hukum tidak diperbolehkan menjadi anggota panel assessment.

Keenam,dekrimininalisasi pengguna narkotika. Dia berpendapat pengguna narkoitka untuk kepentingan pribadi tidak dapat dipidana. Termasuk kepemilikan, penguasaan, ataupun pembelian narkotika untuk kepentingan konsumsi pribadi tidak dipidana. Lain halnya ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap perbuatan pidana akibat atau efek dari penggunaan narkotika tetap bisa diberlakukan.

Namun, dia mengingatkan penerapan pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi terdapat parameternya dengan metode rentang ambang batas tertentu. Misalnya, menggunakan narkotika masih di bawah x sebagai batas minimal, maka tidak dipidana. Sementara menggunakan narkotika rentang antara x dengan z sebagai batas maksimal, maka dilakukan pemeriksaan panel assessment paling lambat 7×24 jam. Sedangkan menggunakan narkotika melebihi dari batas z, maka dilakukan proses hukum pidana bisa berjalan.

Ketujuh, pelaporan sukarela. Mekanisme ini bagi pengguna narkoitka atas dasar kesukarelaanya dapat melaporkan penggunaan narkotikanya kepada panel assessment. Pelaporan penggunaan narkotika dalam konteks ini tidaklah dapat dipidana. “Semua ini kami usulkan agar ada penghapusan stigma pengguna narkotika. Negara hadir untuk memberikan pelayanan terhadap seluruh elemen masyarakat, termasuk pengguna narkotika,” katanya.

Menanggapi paparan Raynov, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej sependapat dengan sejumlah usulan JRKN. Bahkan, dia mengaku 25 tahun lalu, pernah menyusun skripsi mengulas soal pengguna narkotika tidak dilakukan pemidanaan, tapi dengan rehabilitasi. “Saya harus konsisten dengan apa yang saya pikirkan 25 tahun lalu itu,” ujarnya.

Dia berpendapat dalam studi kejahatan, pengguna narkotika merupakan tindakan kriminal/kejahatan tanpa korban karena tidak ada pihak lain yang dirugikan. ”Jadi berulang kali saya bilang, pengguna narkotika tidak perlu dijatuhkan pidana, tapi direhabilitasi.”

Penulis: Rofiq Hidayat

Baca artikel asli di sini

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)