BURUAN KEBURU JEBOL…! 75 Persen Penghuni Lapas Pengguna Narkoba, Pemerintah dan DPR Segera Revisi UU Narkotika
JAKARTA – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej membeberkan kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia yang isinya didominasi oleh para pengguna narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba).
Menurut Edward, hampir 75 persen penghuni lapas adalah pengguna narkoba. ”Hampir 75 persen penghuni lapas adalah pengguna narkoba,” kata pria yang akrab disapa Eddy itu dalam webinar yang digelar oleh Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR bertajuk “Paparan Rancangan RUU Narkotika Rekomendasi Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)” pada Selasa (22/2).
Melihat kondisi itu, menurut Eddy revisi UU Narkotika adalah suatu keniscayaan untuk mengurangi kelebihan kapasitas di lapas dan rutan. Ia juga menyebut ada kebijakan di masa lalu yang menurutnya justru membuat beban di masa sekarang, yakni dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012 yang di dalamnya mengatur soal remisi bagi para terpidana narkoba, terorisme, dan korupsi.
”Kita ini menerima kebijakan masa lalu yang tidak proper dengan mencabut hak remisi bagi narkotika, terorisme, dan korupsi,” kata dia.
Eddy memahami soal remisi terpidana terorisme dan korupsi dalam peraturan tersebut. Tetapi jumlahnya tak sebanyak dengan terpidana kasus narkotika.
“Oke lah kalau koruptor itu tidak lebih dari 500, terorisme tidak lebih dari 300, tapi kalau pengguna narkoba itu hampir 75 persen penghuni lapas adalah pengguna narkoba sehingga perubahan terhadap UU Narkotika dalam rangka mengurangi over kapasitas,” ujarnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Revisi UU Narkotika antara pemerintah dan Komisi III DPR RI menurut Eddy rencananya bakal segera dilakukan dalam waktu dekat.
“Saya sepakat sebetulnya apa yang disampaikan teman-teman sama dengan pemikiran saya. Tentunya dalam pembahasan di DPR akan memberikan masukan berarti, karena ini diprioritaskan, tapi pembahasan baru sekitar bulan Mei atau Juni,” kata Eddy.
Di satu sisi, Eddy memahami narkotika adalah kejahatan luar biasa dan dekriminalisasi terhadap pengguna menjadi penting.
“Kita tak dapat memungkiri bahwa penghuni lapas terbanyak itu adalah kasus narkotika. Saya tiga atau dua minggu yang lalu baru berkunjung ke Sumatera Utara, karena di sana adalah narapidana terbanyak ada di sana, 35 ribu, dan drug user di sana itu 25 ribu,” ujarnya.
Terkait revisi UU Narkotika, Eddy setuju terhadap usulan penyatuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Dalam rapat kerja pada 2 Februari dengan Komisi III DPR, mitra kerja Kementerian Hukum dan HAM, ada usulan yang baik sekali dari Fraksi PDI Perjuangan untuk menyatukan UU Psikotropika ke dalam UU Narkotika. Ini saya setuju,” kata Eddy.
Eddy mengatakan berdasarkan pengamatannya di beberapa negara lain seperti Belanda dan Amerika Serikat, amendemen UU narkotika di kedua negara tersebut dilakukan saat meratifikasi Konvensi Psikotropika 1971 atau Convention On Psychotropic Substances 1971 ke dalam hukum negara mereka.
Adapun terkait berat atau ringannya hukuman bagi para pelaku tindak pidana narkotika di Belanda, lanjutnya, tidak bergantung pada jenis obat, melainkan didasarkan pada tindak kriminal yang dilakukan para pelaku. Apabila pelaku memasukkan atau mengeluarkan obat-obatan secara ilegal dari dan/atau ke Belanda, maka hukumannya akan berat.
“Kalau di Indonesia kan berat atau ringannya hukuman tidak terlepas dari tingkat bahayanya obat. Jadi, Golongan 1 lebih berat dari Golongan 2, Golongan 2 lebih berat dari Golongan 3. Padahal, tingkat bahayanya obat itu kan sangat relatif,” jelasnya.
Eddy mencontohkan ketika ada seseorang yang mengonsumsi narkotika Golongan 1 sebanyak dua butir, dia akan mengalami dampak lebih ringan daripada pengguna narkotika Golongan 3 sebanyak 100 butir.
“Tentu tingkat bahaya per golongan menjadi lebih relatif karena bergantung pada jumlah yang mereka konsumsi,” tukasnya.
Oleh karena itu, menurutnya akan akan lebih baik apabila penggolongan obat-obatan hanya dibagi menjadi dua, yakni golongan narkoba dan golongan psikotropika.
“Ini sudah saatnya kita mencabut UU Psikotropika dan memasukkan (ketentuan) psikotropika ke dalam (UU) Narkotika,” ujar Eddy.
Sementara itu peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Raynov Tumorang Pamintori mengusulkan penggantian terminologi subjek dari “pecandu”, “penyalahguna”, dan “korban penyalahgunaan” menjadi istilah “pengguna narkotika”, dalam revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika untuk diri sendiri,” kata Raynov.
Saat ini, di UU Narkotika, klasifikasi subjek di regulasi tersebut kurang jelas, sehingga memberi stigma dan tidak konsisten antara satu sama lain.
JRKN merekomendasikan kepastian penamaan subjek, yang konsisten dan tidak memberikan stigma, dalam revisi UU Narkotika.
“Pembedaan subjek harus hanya dalam pembagian pengguna dan pengedar,” tambahnya.
Setiap penggunaan untuk kepentingan pribadi tidak dipidana dan dilakukan penanganan melalui pendekatan kesehatan. Pada bagian itu,
JRKN menyarankan definisi yang diharapkan dalam revisi UU Narkotika dapat mengurangi stigma, yaitu dengan berbunyi “orang yang menggunakan narkotika” dan “orang yang mengalami ketergantungan narkotika”.
Selanjutnya, berkaitan dengan tata cara penggolongan narkotika, JRKN juga merekomendasikan ada penyusunan peraturan pemerintah (PP) tentang tata cara penentuan penggolongan narkotika di Indonesia.
“Saat ini, penentuan golongan narkotika diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan (permenkes). Masyarakat hanya mendapat narkotika jenis tertentu, ditentukan masuk dalam golongan tertentu, tanpa publik mengetahui basis pengetahuan dan justifikasinya seperti apa,” jelasnya..
Penulis: Calvjn G. Eben-Haezer
Baca artikel lengkap di sini