Catatan Penting yang perlu masuk dalam Pembahasan Revisi UU Narkotika

Pembahasan revisi UU Narkotika akan dilakukan. UU Narkotika saat ini membawa permasalahan besar karena overcrowding rutan dan lapas (60% lebih penghuni rutan dan lapas karena kasus narkotika, lebih dari 100.000 pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas).

Pengguna narkotika dikirim ke penjara tanpa intervensi kesehatan, sehingga menyebabkan rutan dan lapas menjadi ruang konsumsi narkotika, karena pasar pengguna justru tercipta di dalam rutan dan lapas, sehingga peredaran gelap narkotika di lapas tidak terelakan.

Hal ini terjadi karena UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika tidak mampu membedakan perlakuan bagi pengguna, pecandu dan pengedar narkotika, dengan adanya pasal karet yaitu Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 112, dan Pasal 124 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang memuat ancaman pidana terhadap perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menguasai, menyediakan membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika, tanpa mensyaratkan adanya unsur niat dalam perbuatan tersebut. Sementara itu, seorang pengguna dan pencandu narkotika hampir pasti setidak-tidaknya akan melakukan perbuatan menguasai, memiliki, dan/atau membeli sebelum menjadi pengguna narkotika.

Pasal karet ini juga menjadi ladang praktik korupsi dengan disandingkan/diperdagangkan untuk bisa menggunakan Pasal 127 UU Narkotika yang memberikan ancaman pidana lebih rendah dan kemungkin rehabilitasi bagi pengguna narkotika

Lantas apakah draft revisi UU Narktoika usulan Pemerintaj yang diusulkan mengatasi permasalahan ini? Ternyata belum, berdasarkan catatan berikut:

Satu, Pasal Karet Sama Sekali Tidak diperbaiki
• Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 112, dan Pasal 124 UU No. 35 tahun 2009 tidak masuk dalam usulan revisi oleh draft pemerintah
• Dari ketentuan pidana, hanya Pasal 127 yang diusulkan untuk direvisi, namun dalam revisi tersebut juga masih mengatur pidana penjara bagi penyalahguna narkotika yang menyalahgunakan narkotika dengan jumlah narkotika tidak melebihi jumlah pemakaian 1 (satu) hari, malah seharusnya batasan pemakaian satu hari tersebut yang menjadi batasan tidak dipidana, namun justru tetap diatur sebagai ketentuan pidana

Dua, Pasal 127 tetap memuat pidana penjara
• Ketentuan Pasal 127 adalah ketentuan mengenai perlakuan bagi pengguna narkotika, namun justru padal ini masih memuat ancaman pidana penjara
• Sesuai dengan rekomendasi dari UNGAS 2016, negara peserta telah berkomitmen memperkuat pelayanan, rehabilitasi serta pemulihan bagi pengguna narkotika (UNGASS, Outcome Document of the 2016 United Nations General Assembly Special Session on the World Drug Problem New York, 19-21 April 2016)

Tiga, RUU hanya memperkenalkan Alternatif dari pemenjaraan berupa Rehabilitasi Proses Hukum (Pasal 55-55F)
• Perlu dipahami bahwa Hanya 1 dari 9 orang pengguna narkotika problematic use (UNODC:2019), hanya 13% mengalami disorder (UNODC:2020) dan Penghapusan atau pengurangan hukuman tidak serta merta meningkatkan penggunaan narkotika (Eastwood:2016, Steven:2019)
• Sehingga alternatif kebijakan bukan hanya berpaku pada rehabilitasi wajib, karena tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi, jika solusi yang dihadirkan hanya rehabilitasi, maka hanya akan memindahkan overcrowding ke tempat-tempat rehabilitasi, yang justru akan kembali membebani negara
• Harusnya yang dilakukan adalah dekriminalisasi pengguna narktoika dengan sedari awal membedakan mana yang pengguna/pecandu dengan mana yang pengedar narkotika
• Untuk benar-benar membedakan pengguna/pecandu dengan pengedar narkotika yang perlu diperkenalkan adalah dekriminalisasi pengguna, dengan memperkenalkan threshold atau rentang ambang batas penguasaan narkotika (liat rekomendasi JRKN untuk lebih detail)

Empat, Keputusan Rehabilitasi hanya ditentukan oleh penyidik: Ladang Korupsi tidak ditutup
• Dalam Pasal 55b ayat (6) draft usulan pemerintah, keputusan penghentian perkara datangnya hanya dari kepolisian/penyidik, tanpa adanya pengawasan dari pihak lain
• Praktik ini sama dengan praktik Perpol No. 8 tahun 2021 tentang Penanganan dengan Keadilan Restoratif yang salah satunya untuk tindak pidana narkotika, yang mana proses assessment pengguna narkotika dilakukan tanpa pengawasan
• Hal ini bertentangan dengan due process of law dan prinsip judicial scrutiny dimana penghentian perkara hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum selaku pemegang perkara (dominus litis) dan hakim
• Perdagangan dengan pasal karet juga masih akan terjadi karena Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 112, dan Pasal 124 yang bermasalah masih dipertahankan, juga masih ada pemenjaraan pengguna narkotika dengan Pasal 127

Lima, Keputusan untuk memberikan rehabilitasi bergantung dari penyidik: tidak berlaku bagi semua pengguna narkotika
• Pengaturan rehabilitasi proses hukum (Pasal 55-55f) tidak ditujukan untuk semua pengguna narkotika dalam batasan, namun sifatnya tetap diskresional, dikarenakan pasal karet pemidanaan juga masih dipertahakan sehingga, pemerasan bagi pengguna narkotika masih akan terus terjadi

Enam, Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan tidak diperketat (Pasal 75)
• Terdapat permasalahan mendasar tentang akuntabilitas pelaksanaan kebijakan narkotika utamanya sering terjadi kasus penjebakan kepemilikan narkotika, hal ini dikarenakan hukum acara mengenai kewenangan untuk melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan tidak diatur dengan jelas batasannya, namun sayangnya dalam draft revisi usulan pemerintah tidak diperjelas

Tujuh, Masa Penangkapan Masih 6 hari: rentan terjadinya penyiksaan, pembatasan kemerdekaan tanpa kejelasan
• Masa pengakapan yang saat ini 6 hari merupakan ladang terjadi penyiksaan dan perdagangan pasal karena tidak adanya aturan mengenai informasi pihak luar pada masa penangkapan
• Waktu penangkapan harus dikembalikan pada 1×24 jam sesuai ketentuan dalam KUHAP, waktu yang diperbolehkan untuk membatasi kemerdekaan seseorang dalam skema penangkapan
• Waktu 6×24 jam dalam UU Narkotika saat ini terlalu lama, menyimpangi standar dalam Komentar Umum Pasal 9 ICCPR yang hanya mengizinkan pembatasan kemerdekaaan sebelum dihadapkan kepada hakim hanya 2×24 jam

Delapan, Pidana Mati masih dipertahankan
• UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika memuat pidana mati sebagai hukuman
• Padahal Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pasal 6 ayat 2 kovenan menjelaskan pidana mati hanya bisa dijatuhkan sangat terbatas bagi kejahatan paling serius atau the most serious crimes. Ini adalah kejahatan yang memiliki niat dan akibat langsung yang mematikan.
• Kantor PBB urusan HAM (OHCHR) menyatakan tindak pidana narkotika adalah kejahatan ekonomi, tidak memenuhi syarat the most serious crimes. Kantor PBB lain yang mengurus narkotika (UNODC) pun menyatakan tiga Konvensi Inti tentang Kebijakan Kontrol Narkotika Sedunia tidak bisa jadi alasan untuk menerapkan pidana mati bagi kejahatan narkotika.
• Dalam Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2022, 3 negara juga telah merekomendasikan Indonesia untuk meninjau ulang pemberlakukan pidana mati bagi tindak pidana narkotika
• Dalam draft revisi UU Narkotika usulan pemerintah, ketentuan pidana sama sekali tidak diperbaiki, hanya Pasal 127, sehingga pengaturan pidana mati juga masih dipertahankan, hal ini bertentangan dengan hukum dan menyulitkan posisi diplomatik Indonesia, apalagi semangat pembaruan hukum dalam KUHP Baru adalah mengarah pada penghapusan pidana mati.

Sembilan, Masih dipertahankan larangan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan
• Pasal 8 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang memuat larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan tidak diusulkan direvisi
• Pun, tidak ada usulan untuk pembaruan pengaturan mengenai penggolongan narkotika
• Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022 memang menolak permohonan uji materil pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan, namun terdapat beberapa poin dalam Putusan MK yang harus diperhatikan kembali oleh Pemerintah, MK menekankan
• Bahwa terdapat manfaat Narkotika Golongan I yang terbukti di berbagai praktik negara. Hal ini dapat dilihat dalam bagian pertimbangan yang menjelaskan bahwa Narkotika Golongan I dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, namun MK mengkaji dalam konteks Indonesia saat ini, hal tersebut memerlukan kesiapan khususnya terkait dengan struktur hukum termasuk sarana dan prasarana untuk menunjang manfaat tersebut, dengan ini MK terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bahwa narkotika golongan I khususnya ganja dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan, sistem hukum dan kesehatan Indonesia yang perlu diperkuat, bukan sama sekali MK menyatakan tertutup untuk pemanfaatan ganja untuk kesehatan, seperti yang dirumuskan draft revisi UU Narkotika usulan pemerintah

Sepuluh, Paling bermasalah: Asas Legalistas yang paling dasar Dikhianati
• Dalam draft usulan pemerintah diperkenalkan “Zat Psikoaktif Baru”
• Yang mana “Zat Psikoaktif Baru” didefinisikan sebagai zat yang disalahgunakan, yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis, baik murni maupun sediaan, yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan/atau perilaku, menimbulkan ketergantungan atau ancaman kesehatan masyarakat, serta belum ditetapkan sebagai Narkotika, Prekursor Narkotika, obat, atau zat lain.
• Artinya zat ini belum ditetapkan sebagai narkotika
• Namun dalam Pasal 148A diatur pemidanaan untuk penguasaan zat tersebut yang belum ditetapkan sebagai narkotika:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a. menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru;
• Artinya orang dapat dipidana atas ketentuan hukum yang belum diatur, hal ini sangat problematik dan bertentangan dengan asas hukum yang paling dasar

 

 

 

 

 

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)