JKRN Menanggapi Ratas Presiden tentang Narkotika: Dengan Dekriminalisasi pada Revisi UU Narkotika Beban Lapas Akan Hilang 40%

Terobosan tersebut adalah dekriminalisasi penggunaan narkotika, mengatasi overcrowding, merangkul pengguna narkotika, jangka panjang, menghadirkan pendidikan jujur tentang narkotika dan mencegah penggunaan narkotika secara berbahaya.

Senin, 11 September 2023, Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas (ratas) terkait dengan pemberantasan dan penanganan kasus narkotika. Rapat ini membahas maraknya kasus narkotika di Indonesia, dimana berdasarkan laporan BNN mencatat jumlah penyalahgunaan narkotika sekitar 1,95 persen atau 3,6 juta jiwa. Sehingga Presiden juga menekankan kondisi  overcrowding rutan dan lapas di Indonesia. Dalam ratas tersebut, Presiden Joko Widodo mengajak para jajarannya untuk mencari terobosan untuk menanggulangi hal tersebut.

Atas perhatian presiden mengenai jumlah penyalahguna narkotika di Indonesia, JRKN merespon hal-hal berikut:

Pertama, kita perlu hentikan narasi yang menakutkan tentang peningkatan jumlah pengguna narkotika yang mencapai 1,95% penduduk di Indonesia. Tren secala global juga menyatakan terdapat peningkatan jumlah pengguna narkotika. Dalam world drug report (WDR) UNODC 2023, dilaporkan per 2021 jumlah pengguna narkotika global mencapai 296 juta orang, meningkat 23% dalam kurun waktu 10 tahun, laporan ini menyebutkan bahwa peningkatan tersebut dikarenakan peningkatan jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut, WDR 2023 juga melaporkan bahwa hanya 13% dari pengguna narkotika tersebut mengalami gangguan akibat penggunaan narkotikanya, sebelumnya dalam WDR 2019 dilaporkan hanya 1 dari 9 pengguna narkotika yang penggunaan narkotikanya berdampak pada masalah kesehatan dan sosialnya. Sehingga, kita perlu sama sama tekankan adalah jangan sampai peningkatan jumlah pengguna narkotika justru menjadi legitimasi untuk menghadirkan kebijakan yang salah, yang menghukum pengguna, malah meningkatkan resiko penggunaan narkotikanya menjadi berdampak pada kesehatan dan sosialnya. Dari data global tersebut kita bisa belajar, bahwa penggunaan narkotika bisa dilakukan secara aman, dan hal itu adalah terobosan yang harus dipikirkan oleh pemerintah.

Kedua, terobosan tersebut adalah dengan memperkenalkan dekriminalisasi (menghilangkan respon hukum pidana) terhadap pengguna narkotika. JIka presiden dan jajarannya masih menganggap solusi permasalahan ini dengan narasi penghukuman apalagi perang terhadap narkotika, maka sayang sekali itu berarti presiden dan pemerintah tidak belajar dari praktik baik negara-negara yang juga mengalami permasalahan penggunaan narkotika. Pada saat Portugal memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotika, 0,7% populasi Portugal menggunakan heroin (kedua di Eropa), 60% infeksi HIV karena penggunaan Heroin, tingkat HIV Portugal di atas rata-rata Eropa. Portugal tidak mengambil langkah dengan perang terhadap narkotika, apalagi dengan menghadirkan penghukuman lebih besar. Pemerintahan Portugal pada 1998 justru menunjuk komite yang berisikan dokter, sosiologis, psikolog, pengacara dan aktivis sosial untuk menganalisis masalah kebijakan narkotika Portugal dan memberikan rekomendasi perbaikan, berupa dekriminalisasi penggunaan narkotika.

Perlu ditekankan bahwa dekriminalisasi bukan berarti sama sekali tidak ada respon bagi pengguna narkotika. Dekriminalisasi berarti menghilangkan respon yang berwatak menghukum dan memidana menjadi respon kesehatan. Menurut komite ahli di Portugal yang berisikan lintas disiplin, dekriminalisasi adalah jalan paling efektif untuk mengurangi konsumsi narkotika yang bermasalah dan mencegah orang menjadi ketergantungan. Dengan dekriminalisasi, pengguna narkotika tidak akan takut mengakses layanan kesehatan jika membutuhkan dan kita bisa memberikan pemahaman kepada publik bagaimana penggunaan narkotika yang aman dan mencegah dampak buruknya (harm reduction).

Sudahlah, kita harus mawas diri bahwa di Indonesia memang ada pengguna dan kebutuhan narkotika dan penghukuman tidak menurunkan angka pengguna, justru menjauhkan pengguna dari layanan kesehatan, yang membuatnya justru terus menerus “diporoti” pasar gelap, pun pasar gelapnya dikendalikan aparat korup, bahkan sekelas jenderal polisi. Kriminalisasi juga berdampak pada permasalahan beban sumber daya manusia untuk menangani pengguna narkotika, yang justru menjadikan aparat korup.

Apakah dekriminalisasi menjawab permasalahan overcrowding rutan lapas yang disebutkan Presiden? Jelas iya. Presiden menyebutkan terus menerus permasalahan overcrowding rutan dan lapas di Indonesia yang berisi 110 ribu pengguna narkotika, yang sedari awal tidak membutuhkan pemenjaraan. JRKN telah menyusun skema dekriminalisasi untuk revisi UU Narkotika, dengan proyeksi hasil akan ada paling tidak 66.420 orang pengguna narkotika (40%) yang bisa dikeluarkan dari sistem peradilan pidana. Negara akan menghemat paling sedikit Rp. 1.615.666.500 per hari atau sebayak Rp. 589.718.272.500 per tahun. Dalam jangka panjang, jika penghematan dilakukan setiap tahunnya, biaya yang bisa ditekan negara yang terseok-seok karena overcrowding tersebut dapat mencapai Rp 8 Triliun pada 2024, dan Rp 8,99 Triliun pada 2025. Skema dekriminalisasi yang diperkenalkan adalah dengan adanya skema rentang ambang batas penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi, dalam rentang gramasi tertentu respon yang diberikan bukan penyidikan dan peradilan pidana, namun dirujuk ke Panel Asesmen yang terdapat dalam layanan kesehatan, yang bisa ditempatkan di sistem kesehatan kita yang sudah cukup mumpuni sampai tingkat puskesmas di tingkat desa.

Rehabilitasi bukanlah satu-satunya alternatif solusi, apalagi rehabilitasi yang bersifat paksa.  Dari jumlah 13% pengguna narkotika yang mengalami masalah dalam penggunaannya, tentunya membutuhkan pendekatan yang bervariasi dan tidak terbatas pada pendekatan rehabilitasi rawat inap/jalan. Upaya dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan, serta intervensi berbasis sosial bagi 87% pengguna narkotika tanpa gangguan, ketimbang mengirim mereka ke penjara dan/atau layanan rehabilitasi yang bersifat mandatory dimana justru peredaran narkotika bebas dilakukan serta membuka celah pemerasan bagi pengguna narkotika yang dilakukan oknum rehabilitasi.

Dekriminalisasi juga berdampak positif terhadap pendidikan tentang pencegahan penggunaan narkotika. Pelaksanaan dekriminalisasi narkotika di Portugal juga harus dibarengi dengan perubahan pendidikan tentang narkotika, yang sebelumnya dengan pendekatan abstinent atau memaksakan orang tidak lagi menggunakan narkotika menjadi pendidikan jujur tentang narkotika kepada generasi muda. Dengan upaya ini, pasca dekriminalisasi angka penggunaan narkotika usia sekolah di Portugal secara konsisten di bawah rata-rata Eropa.  EMCDDA juga trend penggunaan narkotika terbilang rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa (peringkat 4 terbawah dari 29 negara).

Terobosan tersebut adalah dekriminalisasi penggunaan narkotika, mengatasi overcrowding, merangkul pengguna narkotika, jangka panjang, menghadirkan pendidikan jujur tentang narkotika dan mencegah penggunaan narkotika secara berbahaya.

 

Jakarta,12 September 2023

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)