JRKN Kenalkan Dekriminalisasi Pengguna Narkotika dalam RUU Narkotika
Solopos.com, SOLO — Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) mengusulkan sekaligus mengenalkan skema intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika sebagai bentuk dekriminalisasi pengguna narkotika di Indonesia.
Konsep itu dikenalkan pada diskusi publik paparan rancangan undang-undang (RUU) narkotika rekomendasi JRKN pada Selasa (22/2/2022). Diskusi publik itu dihadiri Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, dan wakil Rumah Cemara sebagai penanggap sekaligus wakil JRKN.
JRKN terdiri atas ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, dan Yakeba.
Keterangan pers Instiute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjelaskan latar belakang penyusunan rancangan undang-undang narkotika rekomedasi JRKN. Pada September 2021, setelah kebakaran Lapas Kelas IA Tangerang, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly menyebut UU Narkotika menjadi biang kerok kelebihan penghuni di rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia.
JRKN sepakat bahwa kebijakan narkotika yang memuat banyak pasal karet untuk memenjarakan pengguna narkotika menjadi penyebab utama rutan dan lapas penuh, bahkan kelebihan penghuni. Pendekatan penghukuman dan pemenjaraan bagi pengguna narkotika harus direformasi.
Pada 6 Desember 2021 disepakati daftar program legislasi nasional prioritas 2022. Salah revisi undang-undang yang masuk daftar adalah revisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau UU Narkotika.
JRKN yang merupakan jaringan 17 organisasi masyarakat sipil yang melakukan advokasi reformasi kebijakan narkotika di Indonesia menginisiasi penyusunan naskah akademis dan RUU Narkotika. Fokusnya pada perbaikan tata kelola pengguna dan pencandu narkotika.
Perubahan yang diusulkan adalah jaminan tidak ada pemidanaan dan pemenjaraan bagi pengguna dan pencandu narkotika. Peneliti ICJR Maidina Rahmawati melalui siaran pers tersebut menjelaskan rekomendasi JRKN berbasis penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Rekomendasi JRKN juga berbasis penghindaran dampak buruk dan pengutamaan kesehatan publik serta penghindaran mekanisme pidana dan instrumen koersif lainnya sebagai respons yang dominan dalam tata kelola narkotika.
JRKN mengusulkan beberapa rekomendasi yang akan mengubah secara fundamental UU Narkotika. Pertama, definisi pengguna, pencandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan narkotika.
Menghapus Stigma
Saat ini UU Narkotika mengklasifikasi subjek, menstigmatisasi, dan tidak konsisten dalam isi undang-undang. Dalam revisi UU Narkotika, JRKN merekomendasikan kepastian penamaan subjek harus konsisten dan tidak menstigmatisasi.
Pembedaan subjek hanya sebagai pengguna dan pengedar. Setiap penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi tidak dipidana dan ditangani dengan pendekatan kesehatan.
”Pada bagian ini kami menyarankan definisi yang mengurangi stigmatisasi, yaitu dengan menggunakan definisi ’orang yang menggunakan narkotika’ dan ’orang yang mengalami ketergantungan narkotika’,” kata Maidina.
Kedua, memperkenalkan skema intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika. Skema ini sebagai dekriminalisasi pengguna narkotika di Indonesia. Skema ini menjamin setiap orang yang kedapatan menguasai/memiliki narkotika dalam jumlah ambang batas harian satu hingga tujuh hari tidak menjadi subjek proses pidana.
Mereka dikirimkan kepada panel asesmen di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang terdiri dua orang tenaga ahli kesehatan dari fasilitas kesehatan terkait dan satu orang dari komunitas/konselor adiksi.
Ardhany Suryadarma dari Rumah Cemara, melalui siaran pers yang sama, menjelaskan panel ini akan menentukan intervensi apa yang dapat diberikan kepada orang yang menggunakan narkotika tersebut.
”Perlu kami tekankan skema ini adalah respons nonkriminal. Menempatkan alternatif penentuan intervensi pengguna narkotika berbasis kesehatan. Intervensi ini tidak harus selalu rehabilitasi dalam lembaga,” kata Ardhany.
Intervensi bisa saja dalam bentuk rehabilitasi dalam lembaga, rehabilitasi rawat jalan, konseling, bahkan sampai dengan tidak ada intervensi apa pun. Basis perumusannya adalah tidak semua pengguna narkotika harus menempuh rehabilitasi, apalagi rehabilitasi berbasis hukuman.
Laporan tahunan Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan atau United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyatakan hanya satu dari sembilan orang pengguna narkotika yang mengalami problematic use (UNODC, 2019) dan hanya 13% mengalami disorder dalam penggunaan narkotika (UNODC, 2020).
JIka reformasi kebijakan yang direkomendasikan hanya rehabilitasi, apalagi dengan rehabilitasi berbasis hukuman, permasalahan rutan dan lapas yang terlalu penuh hanya akan berpindah ke tempat-tempat rehabilitasi.
Ketiga, penyusunan peraturan pemerintah tentang tata cara penentuan penggolongan narkotika di Indonesia. Saat ini penentuan golongan narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Masyarakat hanya mendapat pemahaman narkotika jenis tertentu ditentukan masuk dalam golongan tertentu tanpa mengetahui basis pengetahuan dan justifikasinya.
JRKN merekomendasikan revisi UU Narkotika memuat kewajiban penyusunan peraturan pemerintah yang mengatur tata cara penentuan golongan narkotika. Menurut JRKN, perlu penghapusan larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan.
Wewenang BNN
Keempat, kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) hanya pada peredaran gelap narkotika dan perkursor narkotika. Penyidik Polri dan BNN hanya berwenang sampai penangkapan untuk kepemilikan dalam ambang batas.
Sesuai dengan rekomendasi Global Drugs Commission, negara dapat memfokuskan diri menggunakan pendekatan hukuman hanya pada tindak pidana peredaran gelap narkotika, apalagi telah diperkenalkan intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika yang menggunakan pendekatan kesehatan.
JRKN merekomendasikan pengaturan metode penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Selama ini pengaturan yang jelas tentang metode ini tidak dapat diakses, sehingga kewenangan ini terselenggara secara tidak akuntabel.
”Kami merekomendasikan metode ini hanya dapat diterapkan untuk menyidik peredaran gelap, harus disertai bukti permulaan cukup, harus setelah mendapatkan surat izin Kepala Kejaksaan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri,” kata Raynov Tumorang, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).
Dalam mekanisme ini harus diatur jangka waktu dan kewajiban penyerahan berita acara dan penegasan bahwa metode ini sebagai objek pra-peradilan. Rekomendasi lainnya adalah pengaturan penangkapan hanya dapat dilakukan 1×24 jam sesuai dengan KUHAP.
Kelima, perombakan ketentuan pidana yang selama ini berisi pasal-pasal karet biang kerok overcrowding rutan dan lapas. Harus ada perumusan ulang gradasi tindak pidana, memastikan ketentuan pidana hanya berlaku bagi penguasaan narkotika di atas ambang batas penggunaan harian.
Harus mencantumkan unsur kesalahan “dengan sengaja” dalam rumusan tindak pidana narkotika untuk menjamin unsur melawan hukum dipertimbangkan secara eksplisit karena sering kali orang terjerat dalam penguasaan narkotika tanpa dia mengetahuinya.
Langkah lainnya adalah menghapus larangan perbuatan penggunaan narkotika untuk diri sendiri/ penyalah guna karena telah dijangkau dengan skema intervensi kesehatan terhadap pengguna narkotika. JRKN juga mengusulkan menghapus pidana minimum khusus dan pidana mati dari ketentuan pidana narkotika.
JRKN juga meluncurkan laman advokasi kebijakan narkotika yang dapat diakses di reformasinarkotika.org. Ketika RUU Narkotika sudah dibahas di DPR, JRKN akan berusaha menelusuri dan membuka akses publik pada draf RUU Narkotika terbaru, pembahasan di DPR, dan dokumen-dokumen pembahasan di DPR.
Laman disiapkan untuk membuka akses terhadap keadilan yang dalam perspektif JRKN bermula dari keterbukaan informasi dan keterlibatan bermakna masyarakat dalam pembahasan kebijakan di level tertinggi.
Penulis: Ichwan Prasetyo
Baca artikel lengkap di sini