Layak kah Konsep Pemberantasan Narkotika Ala Duterte Diadopsi di Indonesia?

Oleh: Muhammad Irfan Al Amin

50 tahun sudah Badan Narkotika Nasional berdiri untuk bertugas mencegah, hingga meberantas penyalahgunaan narkoba. Sepak terjang lembaga ini cukup masyhur dan kerap menghiasi layar media. Pemberitaan mereka cukup digemari masyarakat karena sering menampilkan proses pemberian keputusan yang menimbulkan kontroversi.

Salah satu pemberitaan yang cukup menimbulkan diskursus di masyarakat, saat Kepala BNN, Budi Waseso menyatakan dirinya lebih gila dari Presiden Filipina, Rodrigo Duterte[1]. Tentu saja ucapan Budi Waseso tersebut membuat perdebatan di ruang publik. Ada yang pro dan juga kontra dengan ‘kegilaan’ itu.

Meski kini Kepala BNN telah berganti dan dipimpin oleh Petrus Reinhard Golose, upaya tiru-tiru kebijakan Duterte masih saja diteruskan. Bahkan pernyataan Petrus Reinhard mengenai ‘war on drugs’ digugat oleh LBH Masyarakat ke Pengadilan Tata Usaha Negara[2].  Maka bila melihat pola dua pemimpin BNN ini, perang terhadap narkoba akan terus digalakkan.

Dari kebijakan serupa antar dua pemimpin BNN itu, lalu timbul pertanyaan, apakah pendekatan alat Duterte itu akan efektif? Padahal, di negara asalnya kebijakan itu sudah mendapat pertentangan keras dari masyarakat sipil. Hal itu muncul setelah ada 52 kasus dugaan pembunuhan melanggar undang-undang (unlawful killing) dan pembunuhan tanpa peradilan (extrajudicial killing) oleh Kepolisian Nasional Filipina[3]. Kasus ini juga sudah dalam tahap penyelidikan oleh Kementerian Kehakiman Filipina.

Di sisi lain, pihak DPR tidak memberikan kritik atas upaya BNN untuk mengadopsi konsep War on Drugs tersebut. Bahkan salah satu anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil, mendukung untuk belajar kepada Presiden Filipina[4].

Efektivitas Kinerja BNN Dalam Pemberantasan Narkoba

Bila membaca kondisi penegakkan hukum dalam pemberantasan narkoba dapat dipastikan adopsi konsep Duterte akan berjalan mulus. Karena pihak eksekutif dan legislatif akan berjalan seirama tanpa ada perdebatan pro dan kontra. Bila melihat pola ini masyarakat patut bertanya apakah konsep War on Drugs akan efektif? Atau hanya akan menambah korban mati karena senapan tanpa pengadilan seperti yang terjadi di Filipina saat ini.

Kekhawatiran itu patut mendapat sorotan, karena BNN sebagai Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) memiliki power yang cukup besar. Pada tahun 2015, anggarannya terbilang besar hingga  Rp 1.146.945.779.480[5].

Selain didukung anggaran, kekuatan BNN juga ditopang dengan kewenangan atas koordinasi dari 25 instansi pemerintah terkait. Serta tugasnya yaitu mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusandan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba[6].

Melihat kekuatan BNN itu apakah benar pemberantasan korupsi sudah efektif? Dalam salah satu pemberitaan selama tahun 2021 sudah 808,67 kilogram jenis sabu da ganja sebanyak 3.462,75 kilogram yang disita oleh BNN[7]. Durasi penyitaan itu hanya selama tiga bulan dan dalam kurun waktu masa pandemi saja. Apabila menggunakan tolak ukur pemberantasan korupsi, maka BNN dapat apresiasi dua jempol. Kesan gahar nan sangar menjadi tampilan paling depan bagi BNN. Seakan proses perang melawan korupsi paling berhasil dan terdepan.

Namun sebaliknya bila diukur pada pencegahan. Proses itu hanya sebagai fenomena tip of an iceberg belaka. Selama satu dekade angka kasus pemberantasan narkotika mengalami peningkatan hingga 833 kasus, meski sudah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang sempat mencapai puncak tertinggi di tahun 2018, yaitu 1.039 kasus.

Jumlah ini harus mendapat atensi khusus dari BNN. Ada ketimpangan dalam penanganan kasus hukum yang  sering menjadi sorotan, seperti konferensi para selebriti saat tersangkut kasus narkotika. Hingga para pengguna narkotika yang seharusnya mendapat rehabilitasi malah harus masuk jeruji besi. Bahkan tak jarang lembaga pemasyarakatan justru menjadi tempat baru  penyebaran narkotika. Kasus ini sering mendapat sorot dari media namun masih belum ada upaya ke depan untuk menagani masalah ini. Oleh karenanya sebagai saran, dari pada harus bersusah payah untuk meniru kebijakan Duterte yang melakukan perang narkoba dan melanggar HAM, lebih baik perkuat di sistem pencegahan, perbaiki sistem perundang-undangan sehingga pengguna narkotika mendapat keadilan. Serta perbaiki sistem lembaga pemasyarakatan, agar tidak ada proses penyebaran narkotika di balik penjara.

[1] Gil/Gil, Budi Waseso: Saya Lebih Gila dari Duterte, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180305135928-20-280547/budi-waseso-saya-lebih-gila-dari-duterte, diakses pada 12 Desember 2021.

[2] Andi Saputra, Kepala BNN dan Jokowi Digugat ke PTUN Gegara Pernyataan ‘War on Drugs’, https://news.detik.com/berita/d-5619974/kepala-bnn-dan-jokowi-digugat-ke-ptun-gegara-pernyataan-war-on-drugs, diakses pada 12 Desember 2021.

[3] Mahdi Muhammad, Kementerian Kehakiman Filipina Usut Perang Narkoba Kebijakan Duterte, https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/10/21/kementerian-kehakiman-filipina-usut-perang-narkoba-kebijakan-duterte, diakses pada 12 Desember 2021.

[4] Sekretariat Jenderal DPR RI, Pemberantasan Narkoba Sangat Tergantung Pada Aparat Penegak Hukum, https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/20059/t/javascript%3B, diakses pada 12 Desember 2021.

[5] Patri Handoyo & Ingrid Irawati Atmosukarto, 40 Tahun “Perang Melawan Narkotika”: Pengelolaan Narkotika oleh Negara, Perang Bukan Solusi dalam Jurnal Peradilan Indonesia Vol. 5, Agustus 2016 – Januari 2017: 9 -26, hal 15-31.

[6] Humas BNN, Profil Badan Narkotika Nasional, https://bnn.go.id/profil/, diakses pada 12 Desember 2021.

[7] Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sosial RI, Penyalahgunaan Napza Tetap Tinggi selama Pandemi, Penyuluh Sosial Dituntut Lebih Responsif Edukasi Masyarakat, https://kemensos.go.id/ar/penyalahgunaan-napza-tetap-tinggi-selama-pandemi-penyuluh-sosial-di, diakses pada 12 Desember 2021.

 

 

Gambar: CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220108005314-106-744076/duterte-akan-penjarakan-warga-filipina-tak-divaksin-yang-keluar-rumah

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)