LIVE STREAMING – KOMISI III DPR RI RAPAT PANJA RUU NARKOTIKA

NOTULENSI

23 Mei 2022

tautan live: 

tauatan dokumen notulensi 

Peserta:
1. Pangeran Khairul Saleh – Wakil Ketua Komisi II DPR RI / F-PAN / Kalsel I
2. Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
3. I Wayan Sudirta – Fraksi PDI Perjuangan
4. Arsul Sani – Fraksi PDI Perjuangan
5. Supriansa – Fraksi Golkar
6. H. Desmond Junaidi Mahesa – Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya
7. Drs. H. Adang Daradjatun – Fraksi PKS
8. Muhammad Syafi’I – Fraksi Gerindra
9. H. Sarifuddin Sudding – Fraksi PAN
10. Taufik Basari – Fraksi Nasdem
11. Hinca I.P. Pandjaitan – Fraksi Partai Demokrat
12.

 

Moh. Rano Alfath – Fraksi PKB 
13. Santoso – Fraksi Partai Demokrat
14. M Nurdin – Fraksi PDI Perjuangan
15. Rudy Mas’ud – Fraksi Partai Golkar

 

16. Jacki Uly – Fraksi Partai Nasdem
17. Muhammad Nasir Djamil – Fraksi PKS
18. H. Adde Rosi Khoerunnisa  – Fraksi Partai Golongan Karya
19. H. Arteria Dahlan – Fraksi PDI Perjuangan

 

 

Pembukaan

  • Pangeran Khairul Saleh – Wakil Ketua Komisi II DPR RI / F-PAN / Kalsel I

Dari DPR yang berhadir, baik hadir secara fisik maupun secara virtual, yang kami hormati wakil Menteri Hukum dan Ham berserta jajaran tim pemerintah, bapak ibu hadirin yang berbahagia, Alhamdulillah Wasyukurilah kita pagi ini disehatkan Allah bisa bekerja berkarya sesuai dengan tugas dan fungsi kita masing-masing dan pagi hari ini kita dipertemukan dalam rapat dengar pendapat Komisi III dalam rangka fungsi legislasi dengan tim pemerintah membahas rancangan Undang-Undang tentang perubahan kedua atas UU No. 35/2009 tentang Narkotika, selanjutnya disebut RUU tentang Narkotika, pada hari ini dalam keadaan sehat walafiat. Sesuai dengan laporan sekretariat rapat kerja hari ini dihadiri secara fisik dan virtual sebanyak 25 orang dari 53 anggota dari 9 fraksi. Oleh karena itu forum telah terpenuhi dan telah sesuai dengan ketentuan pasal 281 ayat 1 peraturan DPR tentang tata tertib. Maka perkenankan kami membuka rapat kerja ini dan rapat dinyatakan terbuka. Kami menyampaikan terima kasih kepada saudara wakil Menteri Hukum dan HAM beserta tim pemerintah dan jajaran yang telah hadir di ruang rapat kerja komisi III DPR RI. Agenda rapat dengar pendapat hari ini adalah mendengarkan penjelasan secara umum atas substansi RUU tentang Narkotika.

Hadirin yang kami hormati, komisi III DPR RI telah melaksanakan rapat kerja dengan pemerintah pada tanggal 31 Februari 2022 dan menugaskan panja untuk membahas dim RUU tentang Narkotika. Tetapi sebelum melakukan pembahasan dim, komisi III perlu untuk mendengarkan penjelasan secara umum, apa saja substansi krusial yang akan diubah dalam perancangan undang-undang ini. Untuk itu kami membrikan kesempatan kepada saudara Wamen untuk menyampaikan isi dari substansi perubahan UU Narkotika. Kami persilakan pak Wamen.

  • Dr. Edward Omar Sharif Hiariej – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Terima kasih yang mulia pimpinan komisi III DPR RI, bapak ibu anggota komisi III DPR RI yang kami muliakan, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Shalom, Om Swastiastu, Namo Budaya, Salam Kebajikan. Salam sehat bagi kita semua. Bapak ibu yang kami muliakan, kami perlu memberikan beberapa gambaran.

  • Pertama adalah terkait latar belakang mengapa sehingga pemerintah mengusulkan rancangan perubahan kedua terhadap UU Narkotika yang telah ada. Yang pertama adalah meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta peredaran gerak narkotika dan prekursor narkotika.
  • Kedua, untuk memperkuat landasan hukum bagi upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, cara melakukan penyempurnaan terhadap pengaturan yang ada dalam UU narkotika.
  • Ketiga, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika masih tinggi dan belum dapat tertangani dengan cepat, tepat, dan baik.
  • Keempat, upaya mengedepankan pendekatan keadilan restorative yaitu tindakan rehabilitasi disbanding pemidanaan terhadap penyalahguna, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dan precursor narkotika.
  • Terakhir, belum adanya peraturan mengenai zat psikoaktif baru atau new psikoaktif substance yagn marak beredar di masyarakat yang berpotensi merusak masyarakat dan menimbulkan kecanduan yang sama berbahayanya dengan narkotika.

Adapun materi perubahan di dalam RUU usulan pemerintah ada 6.

  • Pertama, zat psikoaktif baru atau new psikoaktif substance.
  • Kedua, rehabilitasi.
  • Ketiga, tim asesmen terpadu.
  • Keempat, kewenangan penyidik.
  • Kelima, syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel serta penetapan status barang sitaan.
  • Keenam, penyempurnaan ketentuan pidana.

Bapak ibu berdasarkan dim, kami mencoba untuk rekapitulasi dan sudah menerima dim dari bapak ibu yang mulia. Jumlah keseluruhan dim adalah 360. Dim bersifat tetap ada 66, redaksional sebanyak 13 dim, meminta penjelasan sebanyak 10 dim, substansi 178 dim dan substansi baru sebanyak 93 dim. Jadi totalnya adalah 360. Karena ini juga mencakup materi yang cukup krusial yaitu mengenai zat psikoaktif baru, maka memang perlu kita melakukan redefinisi dan dengan melihat definisi narkotika dan psikotropika yang ada dan sudah barang tentu bapak ibu yang mulia kita akan merujuk pada beberapa international convention, baik yang berkaitan dengan narkotik atau psikotropik, antara lain adalah Convention on Narcotic Drugs 1961, kemudian Convention on Psychotropic Substance 1971, dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance 1988. Ini adalah materi-materi yang akan kami atur di dalam perubahan kedua UU narkotika. Demikian bapak ibu anggota komisi II yang mulia yang bisa kami sampaikan. Sekian dan terima kasih.

  • Pangeran Khairul Saleh – Wakil Ketua Komisi II DPR RI / F-PAN / Kalsel I

Pimpinan dan anggota komisi III yang kami hormati, kita telah mendengarkan masukan atas pasal-pasal mana saja yang krusial dan harus ada perubahan yang akan susun di dalam RUU tentang Narkotika. Untuk memperdalam, kami persilakan kepada para anggota untuk menyampaikan pertanyaan atau pendalaman, kami persilahkan. Kita mulai dari fraksi PDI dulu.

  • I Wayan Sudirta – Fraksi PDI Perjuangan

Pimpinan dan anggota yang saya hormati, pak wamen serta jajarannya, kami langsung saja. Banyak yang pertanyakan revisi ini sebenarnya kalau dilihat dari konsep yang ada tidak akan merubah apa-apa kecuali hal-hal tertentu yang tidak signifikan. Literatur yang kami baca secara terbatas, pak wamen, kalau ingin memberantas narkoba itu ada tiga hal yang pokok.

  • Yang pertama petugas. Selama petugas bermain dengan bandar seperti apa pun undang-undang kita tidak akan membawa hasil. Masalah yang kedua masalah bandar dan pengedar. Kalau ini tidak dihukum berat, kalau perlu dihukum mati, kita tidak akan membuat mereka jera. Tetapi masalah yang dua ini mudah diucapkan tapi tidak mudah dilaksanakan.
  • Teman-teman kepolisian dan BNN pasti tahu tidak mudah menangkap bandar. Bandar seperti ada dan tiada, entah di mana dia. Banyak orang menafsirkan bahwa polisi begitu hebat, iya, Ketika dia berhadapan dengan teroris. Teroris itu jauh lebih mudah ditangkap berdasarkan bacaan-bacaan yang ada ketimbang menangkap bandar. Maka kalau ingin serius, tentu kita harus menyiapkan kondisi bagaimana bandar ini bisa dikejar dengan memberi dukungan pada yang pertama yaitu kepolisian. Tapi selama kepolisian dan BNN juga masih sering tempur di lapangan, memperebutkan obyek, dua hal ini tidak mudah dicapai. Jadi saya sudah menyampaikan dua hal, petugas kemudian bandar dan pengedar.
  • Ada yang ketiga yang paling penting. Saya selalu ulang-ulang dan catatan yang disampaikan oleh pimpinan. Beberapa waktu yang lalu sekretariat mengumpulkan data bahwa yang bisa mengurangi penyalahgunaan narkoba itu yang ketiga rehabilitasi. Mudah-mudahan nanti ketua Pak Pak Pangeran bisa menjelaskan lagi negara-negara mana yang sudah terbukti telah mengedepankan rehabilitasi hasilnya luar biasa bagus. Para hadirin khususnya pak Wamen mari kita perhatikan pasal terkait rehabilitasi.
    • Di bagian awal, pasal rehabilitasi itu bagus sekali. Tidak diberi persyaratan apa-apa, sehingga harusnya kita bisa mengisi agar rehabilitasi itu tidak dipersulit tapi malah dipermudah karena sekali lagi, rehabilitasi lah yang sudah terbukti bisa mengurangi penggunaan narkoba. Tapi kalau kita baca pasal-pasal berikutnya setelah pasal rehabilitasi, itu persyaratannya tetap rigid, bahkan praktis nanti tidak mudah kita memberikan rehabilitasi. Pasal-pasal ini memberikan peluang pada penyidik, pada pengadilan, untuk bermain. Kalau pasal di awal bagus, pasal berikutnya adalah peluang untuk bermain.
  • Saya menghormati tugas-tugas kepolisian sebagai partai pendukung pemerintah saya harus tahu dan yakin bahwa kepolisian sudah beranjak maju. Tapi kalau bicara narkoba, adakah rehabilitasi bisa ditempuh dengan gratis? Adakah rehabilitasi bisa ditempu dengan gratis? Tidak mudah mendapatkan rehabilitasi kecuali orang status sosial tertentu, pak. Bahkan untuk menutupi rehabilitasi yang ada permainan, banyak sekali pengguna yang harusnya direhabilitasi tidak direhabilitasi. Ada kecenderungan beberapa putusan mahkamah agung tapi bukan hasil penelitian, MA ini sekarang curiga, kalau dituntut berat, ini berarti tidak ada permainan. Sekarang ada kecenderungan beberapa putusan di MA yang dituntut berat tentu tidak bisa melakukan upaya-upaya suap, sogok, dan sebagainya, sekarang itu diringankan hukumannya.

 

  • Saya bersedia dikoreksi karena kami juga belum melakukan penelitian, tapi ada beberapa putusan seperti itu. Mulai curiga MA ada permainan mana rehabilitasi, mana yang malah pengguna dijadikan pengedar. Barangkali ini beberapa hal yang ingin kami sampaikan, sekali lagi pilihan hukum, pilihan politik hukum kita seperti apa? Setujukah kita memaksimalkan rehabilitasi? Kalau setuju mari kita hapuskan ekstrim ini, pasti nanti ada yang keberatan. Pengguna itu korban. Kalau korban apakah perlu dihukum? Dalam pembicaraan tadi dan waktu-waktu sebelumnya, selalu ada pernyataan, orang sakit kok dihukum? Pengguna itu kan orang sakit yang harus ditolong. Kenapa dia harus dihukum? Sementara hukuman dimasukan penjara bukan menambah dia menjadi baik, padahal itu sebagian besar masih muda. Bayangkan kalau dia masih masih muda dimasukan penjara menjadi lebih buruk, karena LP belum terbukti memperbaiki keadaan secara signifikan.
  • Kedua, penuhnya LP juga sudah berulang-ulang kita tahu. Tadi ada rekan yang menyatakan 60% yang ada di LP itu narkoba. Ada yang mengatakan 65%. Mohon koreksi, salah satu disertasi yang sempat baru-baru ini saya baca diperkirakan mendekati 3 triliun biaya LP. 1.8 triliun diperkirakan untuk narkoba. Ada wacana bahwa jangan memberatkan pemerintah. Apakah 1.8 triliun itu tidak memberatkan pemerintah? Memberatkan. Sehingga membagi saja yang 1.8 triliun kalau itu digunakan untuk rehabilitasi pasti sangat menolong. Sebab apa? Tidak seluruhnya yang dirheabilitasi itu memerlukan biaya pemerintah. Tidak. Ada rumah-rumah sakit swasta yang kalau kita mau data yuk kita data. Walauapun kita curiga “oh saya mandiri” tapi memang ada mereka melakukan secara mandiri.
  • Terakhir, belum lagi rehabilitasi yang berupa rawat jalan. Ini kan membutuhkan biaya. Oleh karena itu janganlah takut terhadap rehabilitasi. Saya pribadi cenderung pastikan lakukan rehabilitasi dengan membeli peluang sebanyak-banyaknya agar rehabilitasi itu bisa terwujud dan terduga tidak bermain di situ. Terima kasih pimpinan.

 

 

  •  Arsul Sani – Fraksi PDI Perjuangan

Terima kasih pimpinan. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, pak Wamenkumham berserta seluruh jajaran, para pejabat yang mewakili instansi terkait kementerian dan Lembaga POLRI dan kejaksaan. Pertama-tama masih dalam suasana bulan sawal, saya ingin menyampaikan sapaan minal waidin wal faithzin mohon maaf lahir batin. Yang kedua, saya termasuk yang mengapresiasi atas inisiatif pemerintah untuk mengajukan rancangan UU perubahan atas UU narkotika yang ada. Pak wamen dan bapak ibu sekalian, saya berharap kita semua sebagai pembentuk undang-undangan membahas RUU ini seperti ketika kita membahas RUU atas perubahan UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pada saat itu ketua pansus yang terhormat Romo Safii itu kita mendengarkan berbagai masukan dari kalangan masyarakat sipil dan juga mendengarkan masukan dari pemangku kep[entingan yang pada saat internal pemerintah barangkali belum tuntas pembahasannya. Meskipun RUUnya sudah diajukan. Jadi kami berharap tadi seperti yang disampaikan pak wayan, ini tidak sekedar kemudian merubah beberapa hal tapi meletakkan politik hukum baru terkait dengan pemberantasan narkotika ini. Saya ingin bertanya kepada pemerintah, kalau dari semangat yang ada sepanjang saya baca dari RUU, maka ada perubahan poilitik hukum di mana rehabilitasi akan diberikan ruang yang lebih besar dalam penanggulangan kejahatan narkoba ini.

Kita semua tahu karena sudah bertahun-tahun kita bahas, paling tidak sejak saya duduk di ruangan ini, di tahun 2014, bahwa overkapasitas lapas kita itu ditimbulkan utamanya karena warga binaan masyarakat terpidana kasus narkoba. Saya ingin mohon penjelasan dari pemerintah, dengan analisis kuantitatif, kalau ini kita rubah maka ini akan merubah wajah lapas kita itu sejauh apa? Saya kira penting karena katanya lapas kita ada di angka 270 ribuan sekian dengan kapasitas yang hanya 160. Sebagaian besar kalau dihitung per kejahatan penghuninya adalah WBP atau tahanan kasus narkotika lebih khusus lagi penyalahgunaan narkotika. Saya ingin pak wamen ada Analisa kuantitatifnya. Kalau kita merubah politik hukum kita terkait dengan penyalahguna narkoba ini, ini dampaknya apa? Benar seperti yang disampaikan pak Wayan itu tadi, maka ini akan mengirit anggaran negara yang terkait dengan lapas, dan ini bisa dialihkan, yang terhomat bapak ketua komisi kita untuk anggaran yang lain. Itu saya kira penting untuk bisa ketahui semua dari analisis ini oleh pemerintah.

Yang kedua, banyak usulan masukan dari masyarakat terkait dengan kanabis, ganja, untuk pengobatan. For health recovery purposes. Saya ingin mengetahui dari awal kira-kira sikap pemerintah seperti apa, sebab kita sedih juga pak polisi pak jaksa kalau terulang lagi kasus-kasus seperti si Belis di Kalimantan Barat. Istrinya sakit, dia menanam 2 pohon ganja di pot, kemudian dipidanakan. Dia masuk penjara dan istrinya meninggal. Menyedihkan sekali. In tidak bisa kita pungkiri memang sampai derajat tertentu ganja bisa menjadi bagian dari obat.

  • Sejauhmana pemerintah akan membuka ruang untuk itu? Saya tidak bicara karena cannabis for leisure, untuk kesenangan atau apa seperti yang berlaku di Thailand atau di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat, karena ketika bulan puasa yang lalu kami diundang oleh duta besar Amerika Serikat dan kita antara lain diskusi soal cannabis for leisure and health, malah orang Amerikanya bilang Indonesia harus memikirkan kalau mau melonggarkan ganja untuk kesenangan. Jangan. Bahkan untuk kesehatan pun dibuka tetapi harus dengan ketat. Karena kalau tidak seperti itu nanti kita akan menyaksikan seperti yang terjadi di beberapa negara bagian AS saya orang keleleran karena menyalahgunakan narkotika atau obat-obatan.
  • Jadi saya kira itu yang paling penting dan saya tentu berharap sebetulnya kan problem kita selama ini karena seperti yang sudah disinggung pak Wayan tadi itu terkait dengan penegakan hukum kita itu juga sangat mempengaruhi karena penegak hukum kita tidak melaksanakan secara murni dan konsekuen pasal 127 dengan alsaan pasal 111, 112, 113, 114 UU Narkotika sekarang itu ada unsur memiliki dan menguasai jadi dengan menggunakan unsur-unsur itu maka penyalahguna tetap dijerat dengan prosers pidana biasa. Saya kira ini juga harus kita perhatikan agar ke depan tidak ada lagi loophole penafsiran dengan menggunakan itu tadi, pasal 111 dan seterusnya dibandingkan dengan pasal 127 yang ada sekarang. Saya kira itu ketua. Terima kasih sebagai catatan awal.

 

  • Supriansa – Fraksi Golkar

Terima kasih yang saya hormati ketua pimpinan rapat, pak wamen, berserta dengan seluruh jajaran, dari pihak kepolisian beserta dengan seluruh kawan-kawan dari kejaksaan yang sempat hadir pada acara ini. Apa yang sudah digambarkan pak Wayan dengan yang mulia bapak Arsul Sani saya kira itu gambaran umum yang ada pada kondisi masyarakat kita pada hari ini. Tidak salah, di PBB pada tahun 2019, memang menyebutkan bahwa Indonesia masuk pada peringkat ke-8 dari seluruh dunia dari peredaran gelap narkoba. Bahkan Indonesia dikategorikan sebagai negara yang memiliki posisi segitiga emas dalam peredaran gelap narkoba setelah Jepang, Australia, Indonesia, Malaysia, dll. Ini artinya tantangan kita ke depan sangat luar biasa karena beberapa wilayah ini pak prof di Indonesia ini yang berbatasan dengan Malaysia itu setiap saat APH kita bisa menangkap para pelaku yang mencoba masuk ke Indonesia baik melalui udara, laut maupun bersemnunyi dengna cara-caranya. Oleh karena itu kami dari fraksi Partai Golkar memilah ada empat yang sangat penting untuk menjadi perhatian.

  • Pertama, adalah bagaimana komitmen pemerintah dalam rangka kita masuk pada soal pencegahan. Apa yang sudah kita lakukan? Adakah upaya besar-besaran yang kita lakukan di seluruh wilayah, seluruh provinsi, seluruh kabupaten, yang dilakukan pemerintah terhadap pencegahan pencegahan yang kemungkinan bisa kita lakukan dengan edukasi langsung kepada masyarakat. Ini soal edukasi. Ini menyangkut masalah komitmen dari pada pemerintah kalau pemerintah di pusat kita bicara soal pengaturan undang-undang. Kemudain sampai di bawah bagaimana cara mengedukasi kelompok masyarakat tertentu yang cenderung mencoba atau menyalahgunakan narkoba.
  • Kedua, kami mencoba bagaimana komitmen dengan APH kita. Di beberapa wilayah sering sekali kita mendengarkan justru apparat kadang-kadang terlibat dalam persoalan narkoba. Bagaimana polisi tiba-tiba terlibat di dalamnya? Berarti ini soal komitmen. Tiba-tiba tahanan-tahanan yang ada di kepolisian ada yang kabur sebelum masuk di lapas. Ada beberapa kasus seperti itu. Ini menyangkut masalah komitmen APH.
  • Kemudian bagaimana APH bisa disinkronisasi antara polisi dan jaksa? Dalam rangka penuntutan di pengadilan. Satu yang setengah mati menangkap (polisinya), tetapi kejaksaan nanti memasang pasal yang bisa meringankan. Ini yang saya katakana bahwa koordinasi antara APH sangat penting dan harus diperhatikan kalau memang kita bicara tentang komitmen untuk pemberantasan narkoba di tengah-tengha masyarakat kita.
  • Ketiga, bagaimana kita bekerja sama antara institusi yang ada (pemerintah, APH terutama polisi), bagaiman kita mencoba mengetahui asal muasal daripada narkoba yang masuk di Indonesia,. Berapa banyak yang ditangkap di bandara. Di bandar aluar negeri, berapa yang ditemukan? Dari Pelabuhan, berapa yang ditemukan? Dari perbatasan Malaysia ke Indonesia, breapa ditemukan? Pernahkan kita mencoba untuk mempelajari ini? Berapa banyak yang ditangkap APH dan berapa yang masuk dari luar? Jangan jangan di Indonesia sudah ada home industry tentang narkoba itu sendiri. Kalau ini ada, maka tentu ada lagi komitmen yang harus kita coba bangun untuk itu. Kita bangun itu pak, bagaimana kira-kira menemukan, jangan sampai ada di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan kita. Karena membuat ini hal yang gampang bagi orang yang mengerti.
  • Terakhir, bagaimana kita mencoba memformulasi penerapan hukum yang ada? Inilah hari di mana saya mendengarkan dari bapak wamen. Indonesia patut bersyukur memiliki pak wamen yang memiliki cara bekerja dan berpikir yang bagus sekali. Beliau selalu memberikan masukan yang luar biasa. Saya mengapresiasi yang luar biasa pada pak prof karena masukannya. Menyangkut masalah dua hal yang saya baca di sini, materi perubahan yang telah disampaikan tadi, ada beberapa poin. Ada enam, maka ada dua yang menjadi perhatian khusus saya yaitu masalah rehabilitasi. Bagaimana rehabilitasi? Bagaimana kita duduk bareng melahirkan sebuah kesepahaman bahwa yang bisa direhab seperti ini modelnya. Ini harus kita sepakati dulu. Kalau tidak, jangan sampai siapa yang bisa masuk dan mendapatkan predikat bisa direhab itu karena dia bisa bayar. Kalau sampai ada pemikiran seperti ini maka hancurlah republik Indonesia sebagai negara hukum.
  • Yang terakhir saya simpulkan adalah tim asesmen terpadu. Siapa-siapa yang bisa masuk dalam tim itu? Bagaimana melahirkan keputusan-keputusan dalam tim ini? Saya kira sangat penting.

 

  • Desmond Junaidi Mahesa – Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya

Kita sudah bicara di rapat internal komisi yang berkaitan dengan 6 item ini sebenarnya. Kalau dilihat dari 6 masalah zat, rehabilitasi, tim asesmen terpadu, kewenangan penyidik, saran dan tata cara pengambilan sampel, penyempurnaan ketentuan pidana. Persoalan yang paling mendasar adalah persoalan di kementerian hukum dan HAM adalah persoalan overcapacity. Bicara tentang overcapacity ini bicara tentang narkoba yang ada di sana, tentang rehabilitasi.

  • Pertanyaannya, rehabilitasi yang dirancang dalam UU ini ada sinkron tidak ke depan dengan urusan pengurangan overcapacity? Bukan terpisah. Dalam UU Narkoba lama, rehabilitasi itu di awal bukan di akhir dalam proses penindakan. Ini saja tidak benar. Orang diselidikan dulu, proses hukuman, lalu direhabilitasi. Seharusnya dari awal orang ini sudah ada penjelasan tentang rehabilitasi.
  • Rehabilitasi ini tanggung jawab siapa? Apakah tanggung jawab kementerian hukum HAM lagi atau mulai melibatkan pemda? Ada tidak dalam UU ini kita bicara keterlibatan pemda? Kenapa? Kalau mau ideal, mana yang wilayah bandar, wilayah pemakai? Bandar wilayah proses hukum, non-bandar wilayah rehabilitasi. Ini tanggung jawab siapa? Kapan kita melibatkan pemda? Karena ini adalah tanggung jawab daerah.
  • Dari dulu saya selalu bicara tentang ini dengan kementerian hukum dan HAM. Salah satu solusi adalah bagaimana melibatkan daerah. Dalam UU ini harus dibicarakan agar persoalan ujung dari proses narkoba ini jelas. Apakah rehabilitasi ini jalan keluar? Bagaimana jalan keluarnya? Bagaimana proses hukumnya? Mana yang dipisah? Mana yang bandar mana yang pemakai? Bandar proses peradilan, pemakai proses rehabilitasi. Bagaimana rehabilitasi 11 tahun yang lalu komisi III memikirkan serius tentang ini sampai studi di Thailand.
  • Persoalan narkoba adalah persoalan hukum dan persoalan kesehatan. Ini yang harus kita kampanyekan. Hukum Kesehatan dalam rangka kepentingan proses sumber daya manusia yang lebih baik. Dalam proses rehabilitasi ini kita pikirkan apa ke depan? Apakah DIM yang sudah ada kita bongkar agar kita memikirkan prosesnya ke sana? Ini satu contoh yang harus dipikirkan. Melibatkan denda atau antar departemen dalam proses rehabilitasi? Ini kekurangan yang terjadi di daerah. Semua ditangkap, tidak bisa memisahkan mana yang pemakai mana yang bandar. Semua dihukum dan menjadi beban Kementerian Hukum dan HAM.
  • Kedua, kewenangan penyidik. Bicara tentang UU narkoba, agak susah kita bicara antara BNN dan Polri. Kalau kita lihat di atas itu tidak kelihatan, kalau kita melihat di bawah, antara Dir Narkoba dengan BNNP Daerah sangat luar biasa perbedaannya karena selalu BNNP Daerah kekurangan anggaran, personil, IT, dll, yang dari UU narkoba lama sampai hari ini tidak ada perubahan. Kalau kita kunjungan ke daerha, bebannya sama. Sementara Dir Narkoba lebih siap kecuali kemarin yang membahagiakan di Banten. BNNP melakukan penangkapan. Itu merupakan kebahagiaan bagi Komisi III. Sementara ini Dir Narkoba yang melakukan penyelesaian. Pernahkah pemerintah memikirkan hal ini pada draf perubahan ini? Apakah polisi masih dilibatkan atau kita fokus BNN saja?
  • Kita perlu ada FGD bicara tentang rehabilitasi, asesmen terpadu, kewenangan penyidik, sebelum masuk pembahasan materi. Karena kita ingin membuka dulu apa saran tentang rehabilitasi, apa komentar polisi dan jaksa. Selalu ujungnya duit. Beban negara ini juga bagaimana melibatkan daerah. Dalam UU Permasyarakatan kita bisa sisipkan. Ada beberapa daerah yang harus dilibatkan. Inis aran saya. Kalau kita mau tuntas membicarakan hal ini banyak hal yang harus kita bongkar lagi untuk disempurnakan.

 

  • H. Adang Daradjatun – Fraksi PKS

Pertama saya ingin memberikan terima kasih untuk bahan pointers RUU Perubahan Kedua UU Narkotika. Setiap pembahasan tidak terlepas dari 6 poin yang bermasalah.

  • Dari PKS, masalah yang berhubungan dengan zat psikoaktif langsung, di sini sudah dijelasan bagaimana kita melihat masukan-masukan internasional yang menjadi sangat penting. Rehabilitasi akan berhubungan dengan tim asesmen terpadu karena memng pada pertemuan-pertemuan yang lalu, masala rehab dan tim akan menjadi masalah pokok di mana hal-hal yang berhubungan dengan hazard sering terjadi. Oleh karena itu tim asesmen terpadu harus menjadi suatu perhatian karena di situlah seseorang apakah akan direhab atau proses hukum, jadi memang harus menjadi suatu perhatian yang mendalam.
  • Begitu juga masalah kewenangan penyidik, jangan sampai terjadi duplikasi, terutama masalah pengawasan terhadap penyidik itu sendiri dalam konteks proses maupun pada saat pemusnahan barang bukti dan sebagainya.
  • Lalu syarat dan cara pengambilan pengujian sampel, surat penetapan status barang/STAN ini juga sangat penting karena bagaimanapun juga pertemuan kita dengan beberapa lembaga itu masalah dikedepankannya jajaran Kesehatan untuk menentukan masalah-masalah yang berhubungan kemudian sampel. Permikiran bahwa ini lebih berat masalah penyidikan dsb, tapi sebetulnya masalah narkotik ini sangat berhubungan erat dalam konteks dengan lembaga kesehatan karena sangat menentukan tentang sampel itu seperti apa, menyangkut penyempurnaan ketentuan pidana. Ini juga menarik. Ada pasal-pasal tertentu yang sampai tingkat sebaiknya dihilangkan karena terjadi suatu daerah abu-abu baik itu menyangkut masalah jumlah atau beratnya maupun berapa kali orang itu melakukan atau menggunakan narkotik.

 

  • Muhammad Syafi’I – Fraksi Gerindra

Secara mendalam tadi sudah disampaikan pak Desmond tapi ada hal yang perlu saya tambahkan.

  • Yang pertama, saya sangat mendukung bahwa poin B tentang rehabilitasi sangat ditentukan oleh poin C, Tim Asesmen Terpadu. Untuk itu perlu ada seleksi yang kuat sehingga kekhawatiran tidak terjadi, kekhawatiran bahwa orang direhab atau tidak bukan tergantung assessment hasilnya berapa tapi setorannya berapa.
  • Kedua, tentang kewenangan penyidik, ada dualism antara BNN and Dir Narkoba. Selain pembiayaannya ganda, itu bisa melahirkan hasil yang berbeda, tergantung siapa dulu yang menanganinya. Bisa tidak ada terobosan sesuai poin F bahwa penyidikan tentang kasus narkoba itu dipusatkan. Pilihannya terserah, mau di Dir narkoba atau BNN. Kita coba saja untuk efisiensi dan efektivitas penyidikan.
  • Ketiga, penyempurnaan pidana ini, saya ingin ada politik hukum yang sangat kentara bahwa UU ini tidak hanya mengulangi apa yang pada UU 35/2009. Ini menyasar pengguna, korban, tapi arahnya harus menyasar pada bandar. Ketika arahnya menyasar pada Bandar, maka apa yang dikatakan pak Desmond tadi, selain itu mengurangi penghuni lapas, mengurangi kebutuhan untuk mendirikan lapas baru, tapi juga menyelamatkan anak bangsa karena sesungguhnya narkoba ini merupakan kejahatan transnasional. Kalau kita baca sejarahnya ini adalah senjata yang ampuh bagi negara yang berkepentingan untuk melumpuhkan warga negara yang akan mereka kuasai. Bandar daftarnya masih sedikit sekali sedangkan lapas dipenuhi oleh pemakai, pengguna. Bandarnya sangat sulit. Bahkan ada bandar yang 2 kali dihukum mati dalam kasus yang sama tapi tetap tidak dieksekusi. Politik hukumnya harus jelas, mengarah pada penangkapan dan pemusnahan bandar-bandar narkoba yang menjadi sumber hancurnya generasi bangsa kita.

 

  • Sarifuddin Sudding, SH, MH – Fraksi PAN

Pertama saya memberikan penghargaan atas inisiasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam kaitan perubahan atas UU 35/2009 karena memang masalah narkotika ini memang sungguh sangat memprihatinkan. Presiden berkata negara kita dalam kondisi garurat narkoba. Kenapa persoalan narkoba ini secara terus menerus terjadi. Bahkan 60-70% dari penghuni lapas adalah para pecandu/penyalahguna narkoba. Sebelumnya kita tidak semasif ini.

Ada beberapa poin mengenai apakah lembaga permasyarakatan ini juga memproduksi bandar-bandar baru dalam kaitan peredaran narkoba, karena dalam berbagai kesempatan sering didengar bahwa para pengendali narkoba justru ada dari lapas.

  • Coba kita cari polanya. Bagaimana para bandar itu betul-betul diisolasi ketika masuk di lapas. jangan kemudian bersama dengan narapidana lain yang sebelumnya tidak pernah mengenal narkoba tapi Ketika keluar justru menjadi bandar, pengedar, dll. Narkoba itu masuk dalam lembaga permasyarakatan. Pada saat mereka keluar mereka terlibat dalam jaringan-jaringan itu. Betul ini adalah kejahatan transnasional. Ada upaya untuk melumpuhkan bangsa dari pihak-pihak tertentu, karena cara yang paling ampuh ini menyangkut masalah narkoba.

Terkait asesmen, jangan sampai asesmen ini jadi barang baru, ruang abu-abu yang dijadikan ajang transaksi. Menyangkut masalah kompensasi korban teroris, menimbulkan masalah baru, “mereka dapat mengapa saya tidak dapat.” Ini betul-betul perlu orang-orang yang akuntabel, bisa dipercaya menyangkut masalah rehabilitasi ini.

Berikutnya, kalau BNN dijadikan leading sector, saya kira badan ini perlu diperkuat dengan kewenangan-kewenangan yang ada. Bagaimana koordinasi pihak kepolisian dan BNN supaya pada saat di lapangan betul-betul dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bersinergi, dan tidak berjalan sendiri-sendiri sehingga proses penanganan kasus peredaran narkoba tidak optimal.

 

  • Taufik Basar – Fraksi Nasdem

Revisi ini adalah kesempatan yang besar bagi kita untuk melakukan perubahan mendasar, terutama perubahan cara pandang mengenai cara penanganan narkotika. Selama ini dari tahun 2009 faktanya persoalan tidak selesai-selesai. Maka kita sangat berharap selain dari 6 poin tadi, Ketika kita melakukan pembahasan, kita harus membuka pandangan bahwa Ketika kita melakukan penanganan terhadap narkotika maka tidak semata soal penegakan atau penindakan hukum saja, tapi juga mengedepankan masalah kesehatan. Yang selama ini terjadi kalau kita bicara narkotika itu persoalan hukum, kemenkumham, kepolisian, BNN, sementara pihak-pihak lain yang juga turut bertanggungjawab merasa itu bukan tanggungjawab mereka. Kita berharap RUU ini mampu membangun kesadaran Bersama, tanggungjawab berbagai pihak untuk turut serta melakukan penanganan terhadap persoalan narkotika, tidak hanya dibebankan pada APH dan Kemenkumham.

  • IJRS melakukan penelitian terhadap 1361 Putusan MA yang terkait dengan sabu. Dari 1361, yang diputus di bawah 1 gram itu 48.73% (hampir setengah). Dari 48.73% itu yang 0.5 gram itu 39%. Jadi kalau kita mengatakan war on drugs, yang kita perangi itu kroco kroco di bawah satu gram. Itu baru sabu. Saya yakin untuk ganja itu juga hampir sama atau bahkan lebih besar. Bagaimana revisi UU narkotika ini mampu menyasar strategi baru untuk menghajar para bandar, bukan pengguna. Maka dari itu kita bagi dua. Apa yang bisa lakukan untuk bisa mengejar bandar-bandar dan apa perlakuan kita terhadap pengguna? Pemerintah daerah harus bertanggungjawab juga karena kalau di pusat semua akan sangat berat. Kita harus kembalikan tanggungjawab pemerintah daerah dalam menangani khususnya soal kesehatan. Di bawah 1 gram, pemda harusnya yang menyelesaikan. Yang bandar-bandar atau peredar besar baru kita kejar dengan penegakkan hukum.
  • Saya dulu pernah belajar economic analysis of law. Persoalan penanganan narkotika ini berhubungan dengan hukum ekonomi, penawaran permintaan. Indonesia akan selalu menjadi pasar karena kita belum berhasil menyelesaikan orang-orang yang tersandera sebagai pecandu untuk bisa keluar dari lingkaran setan. Kita harus sembuhkan, keluarkan, supaya pasarnya berkurang supaya kita tidak lagi jadi sasaran perdagangan narkoba. Tidak hanya semata pada hukum tapi semua aspek, seperti kesehatan dan penegakan ekonomi kita untuk melakukan penanganan pada narkotika.

 

  • Hinca I.P. Pandjaitan – Fraksi Partai Demokrat

Karena rapat kita adalah penjelasan pemerintah terhadap susbtansi yang mau diubah yaitu 6 poin tadi, dan beberapa waktu lalu pemerintah sudah menyampaikan RUU ini dan kita sudah tiba pembahasan DIM dan panja akan segera bekerja. Oleh karena itu saya ingin meminta penjelasan lebih lengkap lagi agar backgroundnya kita tangkap untuk menyamakan persepsi dan semangat kita untuk melakukan perubahan. 12 tahun UU in berlaku tentu banyak catatannya. Siklus perubahan UU di siklus 10 tahunan berlaku juga pada UU Narkotika.

  • Semangat latar belakang. Mengapa pemerintah merubah ini? Samakah seperti pikiran kami di fraksi partai Demokrat? Ialah ketika presiden Jokowi mengumumkan pada 2015 bahwa Indonesia darurat narkoba dan kita sepakat itu. Saya membaca semangat utama perubahan ini membebaskan Indonesia dari darurat narkoba ke tidak darurat lagi. Lalu dari semangat itu turut 6 poin. Apakah 6 poin ini sudah cukup membebaskan Indonesia bebas narkoba? Oleh karena itu saya mohon penjelasan dari pemerintah untuk hal-hal yang substansi ini dulu, atau pertimbangan kita. Dalam beberapa kali rapat di komisi III ssaya mengatakan untuk membebaskan darurat narkoba di Indonesia salah satunya adalah tagline bahwa narkoba kita garisbawahi sebagai bahaya laten yang menghancurkan masa depan anak bangsa. Kalau dia bahaya laten narkoba, maka kita semangatnya all out. Untuk apa kita revisi kalau hanya tambal sulam?
  • Saya yakin pemerintah tetap dalam posisi hari ini Indonesia darurat narkoba, karena datanya sedemikian rupa. Sumatera Utara juara nasional terus. Karena itu kita mengangkat soal latar belakang ini. Kalau begini perangnya kepada hulu atau hilir? Pengguna adalah korban, korban harus diobati (rehabilitasi). Tapi ke atasnya, politik hukum kita khususnya nanti di nomor F yaitu penyempurnaan ketentuan pidana harusnya berbalik arah untuk menyasar ke perang kepada bandar narkobanya. Kalau sudah perang ke bandar narkoba, melekatlah ke situ TPPUnya. Dengan demikian menjadi semangatnya sama.
  • Ketiga, kaitannya dengan itu masih di kewenangan penyidik. Kata-katanya Penyidik BNN dan Kewenangannya. Ini persopalan dasar, yaitu yang disebut underbait. Penyamaran untuk membongkar narkoba. Di masyarakat marak sekali, terakhir di Binjai. Polisinya sendiri menggunakan penyamaran itu hanya menangkap 0.1 gram padahal underway itu diberikan kewenangannyas untuk bandarnya bukan penggunanya. Maka mohon penjelasan lagi pada pemerintah apakah itu jalan pikirannya? Kalau itu tentu semangatnya nyasar politik hukumnya balik ke bandar. Apakah penyidik BNN sendiri saja menjadi tunggal seperti KPK besar di atas, kecil di bawah? Karena BNNP dan BNNKnya tidak terlalu berpengaruh.
  • Soal rehab, apakah ukurannya kuantitatif? Kuantitatif atau kualitatif? Teman-teman mengangkat jangan kuantitatif karena di situ akan terjadi bargain. Semua pengguna/korban adalah sakit. Yang namanya sakit harus diobati. Setelah rehab dia keluar lagi kena lagi tetap diobati. Orang sakit diobati bukan dipenjara. Karena itu syarat direhabilitasi dan tim asesmen terpadu menjadi penting.
  • Terakhir, mohon penjelasan pemerintah, kalau ini darurat narkoba maka seluruh anak bangsa ikut terlibat, termasuk masyarakat yang oleh BNN menyebut programnya bersinar. Tidak ada sinarnya. Apa yang terjadi hari ini? Ialah pesimisme dan skeptis warga masyarakat untuk melakukan dan membongkar di depan rumahnya samping rumahnya ada narkoba. Takut dia jadi dia menyingkir seolah-olah gak ikut tanggungjawab.
  • Menarik bahwa masyarakat menjadi bagian dari kita semua yang membentengi rumah-rumah keluarga itu untuk menjaga pasar narkoba tidak ada lagi. Kalau ini yang terjadi maka semangat yang pertama (Indonesia bebas narkoba), mungkin hadiah terbaik UU ini kalau sudah kita revisi terjadi saat Indonesia 100 tahun (2045) bisa saja cita-cita kita tercapai.

 

  • Rano Alfath – Fraksi PKB

Ada beberapa persoalan yang harus kita cermati dan bahas bersama.

  • Pertama, overcapacity lapas yang sudah terjadi sekian tahun kemudian 65% adalah para pengguna narkotika yang tentunya seharusnya mereka diklasifikasikan sebagai korban.
  • Kedua, kita berharap UU ini menjadi solusi supaya tidak terjadi kesalahan dalam prosedur penindakan, maka perlu saja dilakukan klasifikasi yang begitu jelas soal pengguna yang dikategorikan korban, lalu pengedar atau bandar harus dilakukan penanganan secara khusus melalui pidana sehingga nantinya tentu kita bisa memberikan solusi overcapacity lapas.
  • Ketiga, perkembangan zaman menimbulkan narkotika jenis baru. Itu harus diatur.
  • Selanjutnya, soal penguatan kelembagaan. Seperti yang disampaikan bapak rekan-rekan. Di dalam UU ini tentu saja kita berharap ada penguatan secarfa kelembagaan, misalnya BNN. Apakah BNN secara tunggal menangani persoalan narkotika? Lalu kemudian tentu saja penguatan ini dalam bentuk kewenangan dan anggaran. Secara anggaran apakah bisa menggunakan APBN secara langsung? Bisa. Contoh, pendidikan. Kita menggunakan UU Pendidikan untuk mengalokasikan anggaran APBN. UU Desa juga sama. Dana desa kemudian dimasukan ke dalam APBN. BNN saya kira juga bisa kalau kita betul-betul serius dalam rangka memerangi narkotika, tapi tentu saja ini juga perlu kita diskusikan secara serius dan butuh persetujuan dari berbagai fraksi.
  • Soal rehabilitasi, jika bisa melibatkan pemerintah daerah, kalau memang bisa dilakukan kenapa tidak? Atau soal penguatan kelembagaan BNN. Dengan melakukan penguatan secara kelembagaan, aturan, penindakan, dan anggaran. Saya kira ini perlu kita bahas secara serius.

 

  • Santoso – Fraksi Partai Demokrat

Pertama, produk regulasi ini jangan hanya mengatur soal kewenangan, karena ada indikasi begitu yang saya dengar. Kedua, produk regulasi ini harus punya daya getar terhadap bandar narkoba. Jadi kalau cuma datar-datar saja apalagi menyebabkan penambahan APBN dan tidak secara signifikan bisa mengurangi peredaran narkoba, menurut saya sia-sia.

  • Saya akan mengkritisi zat psikoaktif baru. Dalam pasal nanti bagaimana pengaturannya di dalam pasal atau ayat. Langsung disebut atau diberi kewenangan instansi terkait untuk menyatakan bahwa zat ini memang membahayakan dan mengandung psikotropika atau narkotika yang menyebabkan penyalahgunaan terjadi di masyasrakat. Ini harus jelas. Kalau tidak sebutkan ternyata dalam UU itu cuma disebut, misalnya sekarang ada 50 terus tahun depan timbul yang baru. Siapa yang punya wewenang untuk menentukan apa yang merupakan bagian dari narkoba? Jadi jangan hanya kita mendengar ada “tembakau gorilla” tapi tidak disebut itu menyalahi aturan dan siapa yang menyatakan aturan itu karena tidak disebut di dalam UU.
  • Tentang rehabilitasi, kita mencontoh rehabilitasi dari negara lain. Sayangnya rehabilitasi di Indonesia disalahgunakan oknum untuk memeras masyarakat. Supaya ada daya getar baik pengedar maupun pengguna, menurut saya, daripada orang yang direhabilitasi dengan terpaksa harus membayar, lebih baik untuk rehabilitasi ini ada PNBPnya. Gak usah takut-takut kita. Sehingga orang membayar apa pun bermanfaat untuk negara dan dirinya. Lebih baik di UU yang direvisi ada PNBP untuk rehabilitasi.
  • Untuk tim asesmen terpadu, saya harap ini tidak membebani APBN. Jangan ini dimanfaatkan untuk membebani APBN karena kita tahu saat ini bukan hanya Indonesia yang mengalami kontraksi tapi juga seluruh dunia akibat dari pandemi yang sudah terjadi dua tahun.
  • Tentang kewenangan penyidik, saya dengar sudah ada tarik menarik antara kepolisian dan kejaksaan. Jangan ada kewenangan yang dipangkas dari para penegak hukum karena dalam proses ada kewenangan penyidik untuk rehabilitasi. UU ini bukan lex spesialis.
  • Yang tidak kalah penting, kita juga harus mengatur dalam UU ini tentang pengawasan di tempat rehabilitasi dan lapas jangan menjadi tempat peredaran narkoba yang aman. Harus disebutkan dalam pasal ini karena ternyata ini menjadi modus operandi para bandar dan pengguna. Yang tadinya pengguna naik kelas. Menurut saya di tempat rehabilitasi mungkin ada tapi tidak pernah diekspos saja. Sanksi-sanksi juga harus lebih berat baik bagi pada para penghuni rehab dan lapas (warga binaan) maupun para aparat yang bertugas.
  • Terkait dengan penyempurnaan ketentuan pidana, karena harus punya daya getar, bandar dan pengguna takut, kenapa kita tidak ada keberanian untuk merevisi UU ini dengan menyebut kalau dia pakai sekian hukumannya sekian tahun, sekian gram sekian kilo hukuman mati. Harus ad acara radikal untuk menyelesaikan ini. Kita ini hanya retorika saja tapi di lapangan semakin membesar. Bisnis ini setiap tahun meningkat, bisnis apapun kalah dengan bisnis narkotika di Indonesia. Revisi UU ini harus radikal dan membuat daya getar bagi bandar dan pimpinan.

 

  • M Nurdin – Fraksi PDI Perjuangan

Mohon diperhatikan UU Kesehatan yang mungkin akan berkaitan dengan ini sehingga tidak menyulitkan APH dalam penegakan UU Narkotika ini. Untuk zat psikoaktif baru itu mungkin bisa disarankan seperti yang ada sekarang, diberikan kesempatan di lampirannya saja, jadi jika ada perubahan tidak merubah pasal tapi lampirannya saja, karena sangat ceepat perubahan atau pertambahan zat zat kimia baru yang bisa menimbulkan efek seperti narkotika.

 

  • Rudy Mas’ud – Fraksi Partai Golkar

 

Beberapa materi yang diatur RUU Narkotika perlu kita sikapi.

  • Pertama, kewenangan untuk menetapkan barang-barang baru ini harus jelas aturannya. Kami berharap Kementerian Kesehatan harus menentukan terkait jenis narkotika dan psikotropika yang baru.
  • Kedua, tentang rehabilitasi, saya melihat rehabilitasi agar dilaksanakan secara serius mengedepankan bahwa korban-korban penyalahguna narkotika harus diberikan pernyataan agar tidak memenuhi lapas-lapas di Indonesia. Korban narkotika hampir keseluruhannya dipenjara jadi tidak menyelesaikan masalah. Mungkin selesai di sini tetapi timbul permasalahan baru. Kementerian keuangan di sini juga hadir agar tau bagaimana efeknya berkaitan dengan APBN kita. Saya berharap kalau satu dua kali mungkin bisa dilaksanakan rehabilitasi, kalau tiga kali mungkin bagusnya dihukum mati saja atau dihukum tembak saja, artinya diberikan kesempatan untuk itu. Jadi diberikan solusi.
  • Ketiga, tim asesmen terpadu. Saya harap pelibatan pihak-pihak kompeten berdasarkan asesme memastikan perlindungan pada korban penyalahguna narkotika karena ini penting sekali apalagi berkaitan dengan kewenangan penyidikan. Harus ada sinkronisasi APH kita baik dari kepolisian, kejaksaan, dan hakim, karena hakim mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan pembelian. Semoga di revisi ini ada pemotongan birokrasi karena kalau tunggu penetapan pengadilan lama sekali. Bukan hanya polri tapi juga ada BNN, dll. Perlu sinkronisasi antara APH kita di sini dan hakim.
  • Berikutnya ada syarat-syarat tata pengambilan dan pengujian sampel dan penetapan status barang sitaan. Ini menurut saya pentin karena sampel ini harus benar-benar dilakukan dengan jujur dan tidak mengada-ngada dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas lagi untuk menghindari rekayasa oknum-oknum petugas.
  • Berikutnya ada penyempurnaan ketentuan pidana. Ini sangat mendesak agar tidak perlu direvisi lagi setiap saat dan lebih adaptif terhadap perkembangan zaman karena memang UU kita sudah ketinggalan zaman. Perlu modernisasi lagi. Sebaik apapun UU ini disusun, kalau tidak dilaksanakan dengan konsisten dan komitmen, UU ini tidak ada artinya.

 

  • Jacki Uly – Fraksi Partai Nasdem

Problem UU ini adalah pertama, mengenai zat psikoaktif baru ini, saya ingin bertanya bagaimana parameter menentukan bahwa ini baru atau tidak saat kita melihat penggunaan oleh masyarakat.

  • Sebagai contoh, ada satu jenis zat bernama kratum yang mempunyai daya yang luar biasa, hampir sama dengan ganja. Tetapi di Indonesia samar-samar mengatakan tidak boleh, ada yang boleh, dan permintaannya sangat besar dari pemerintah Amerika Serikat, maka diselundupkan dari Kalimantan yang memproduksinya tanpa pajak dan harganya mahal. Kita harus selidiki apa itu zat psikoaktif baru ini. Tanamannya berbeda dengan ganja tapi cara penggunaannya hampir sama, dipakai untuk pengobatan juga.

Kedua, hubungan tata kerja perlu diatur secara tegas dan jelas. Di mana ada BNN, di mana ada direktorat narkotika. Saya mengerti bahwa BNN pasti banyak terkait dengan politik hukum kita terhadap masalah narkotik yang dilaksanakan oleh BNN. Namun seperti kita ketahui bersama, menangani narkotika ini bukan masalah yang mudah.

  • Sekarang yang kami dengar dan lihat itu jabatan empuk itu adanya di yang berkaitan dengan narkotika. Artinya rawan sekali masalah ini sehingga diperlukan suatu hubungan tata kerja yang sangat baik antara BNN dan kepolisian, karena kebanyakan personil di BNN dari polisi, jangan sampai terjadi hal-hal yang terjadi di teroris itu terjadi di sini, misalnya supremasi penanggulangan teroris oleh BNPT dan BRIMOB. Di belakang saking tusuk menusuk. Kita perlu mengatur hubungan tata kerja sehingga apa yang dilakukan BNN, polisi, dll. Sehigga tidak terjadi perebutan lapangan kerja.

 

  • Muhammad Nasir Djamil – Fraksi PKS

RUU Narkotika ini masih berada di persimpangan jalan, sehingga kita tidak punya satu keinginan yang menyeluruh untuk menghabisi narkoba di negeri ini. Harapannya pemerintah memberikan data pada DPR. Darurat narkoba itu seperti apa? Apakah ditandai dari semakin banyaknya pengguna atau korban? Seharusnya pemerintah karena memiliki sumber daya manusia memberikan data, ini potret Indonesia, bandarnya begini di sini, yang terpapar atau korbannya segini, berada di sini ada sekian jumlahnya dan lain-lain. Sehingga kita bisa melihat bahwa Indonesia itu darurat narkoba. Karena itu darurat narkoba itu diambil dari para korban atau bandarnya? Sehingga kemudian ada bersinar (bersihkan sindikat narkoba) tapi diperhalus jadi bebas narkoba. Yang mau dirusak itu jaringan sindikat, tapi lama kelamaan sindikatnya hilang jadinya bersih narkoba. Oleh karena itu kepada pemerintah, ada baiknya sebelum kita masuk dalam pembahasan demi pembahasan, saya menyarankan agar kita bisa mendapatkan data sehingga kita tidak seperti memperbaiki suatu mobil yang sedang mengalami kerusakan.

Diperkirakan tahun 2030 Indonesia akan mengalami peningkatan ekonomi, dan salah satu peningkatan ekonomi berasal dari bonus demografi. Kita tahun 2030 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, usia angkatan kerja akan lebih banyak. Di situ lah kita melihat UU ini. Kita tahu korban adalah generasi muda.

  • Bagaimana kemudian UU ini bisa mengantisipasi dan mendukung peningkatan ekonomi Indonesia di tahun 2030 sehingga kemudian usia Angkatan kerja bisa mendapat pekerjaan. Jika tidak dimanfaatkan maka akan terjadi malapetaka dan kesengsaraan di negeri ini. Kita bukan hanya terpaku dengan soal zat psikoaktif baru rehabilitasi, dan lain-lain, ini sesuatu yang kita lihat selama ini, barangkali 6 poin ini ada problem.
  • Tapi pertanyaannya apakah problem-problem yang kita inventarisasi ini mampu menjawab kedaruratan tadi itu. Bagaiman kemudian kita membangun sinergitas antara BNN dan Polri. Kita banyak mendengar cerita yang tidak sedap soal pemberantasan narkoba yang sudah menjadi rahasia umum. Oleh karena itu ini juga harus diantisipasi.
  • Makanya saya berharap pada pemerintah agar kita melakukan refleksi. Saya dalam konteks hari ini ingin meminta pemerintah untuk memberikan data pada anggota-anggota panja, bagaimana kita mensikapi ini semuanya. Dan kita tahu bahwa di BNN Kabupaten/Kota hanya ada satu penyidik, yang lainnya kadang-kadang PNS, P3K. Senjata cuma satu, seolah-olah kita tidak punya daya menghadapi ini semua. Saya harap UU yang kita ubah ini jangan terlalu buru-buru untuk kita selesaikan dalam rangka mengejar target dan agar di bidang kita punya prestasi, padahal tidak menjawab masalah yang ada. Sebab memang wajar karena kita dilihat, “mana prestasi DPR? Mana UU yang dibuat?” kemudian kita cepat-cepat berlari padahal masalah masih ada di belakang.

 

  • Adde Rosi Khoerunnisa – Fraksi Partai Golongan Karya

Ada tiga poin yang ingin saya sampaikan.

  • Pertama, berbicara rehabilitasi, tentu kita pahami bahwa rehab di Indonesia tidak sebanyak yang kita kira, bahkan mungkin di setiap kabupaten/kota belum tentu ada panti rehabilitasi yang dimiliki. Oleh karena itu penting mempersiapkan panti-panti rehabilitasi. Masukan saya mungkin norma terkait keikutsertaan BUMN untuk membuat panti-panti rehabilitasi harus dimasukan dalam revisi UU ini agar beban rehabilitasi selain diberikan ke pemerintah daerah tapi BUMN atau perusahaan-perusahaan besar memiliki peran serta dalam membangun panti rehabilitasi.
  • Kedua, terkait sinergi dengan BPPOM, ada macam-macam obat yang memang tidak masuk dalam narkoba, juga dalam lingkup obat-obatan. Mudah-mudahan sinergi dengan BPPOM harus dilakukan agar lebih jelas mana obat, mana narkoba, berdasarkan UU ini.
  • Ketiga, pada pasal 55B ayat 2 disampaikan bahwa rehabilitasi telah menjalani proses hukum atau tidak lebih dari dua kali yang diterbitkan oleh BNN. Kenapa harus 2 kali? Kenapa tidak 1 kali saja kemudian langsung bisa masuk dalam rehab? Menurut saya 1 kali saja sudah cukup karena saya khawatir dengan artinya 2 kali jangan sampai dikesankan seolah-olah kita mentoleransi penggunaan narkotika yang masuk ke rehabilitasi.

 

·      Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

 

Kami sungguh berbahagia mendengar berbagai masukan yang diberikan karena menunjukan bahwa antara pemerintah dan DPR memiliki frekuensi yang sama terkait revisi UU Narkotika. Kejahatan narkotika ini kejahatan yang unik karena memadukan dua aspek yaitu aspek hukum dan kesehatan dan itu tidak mudah. Tapi di sisi lain, narkotika ini masuk dalam kualifikasi sebagai extraordinary crime karena memenuhi tujuh kriteria untuk menyatakan kejahatan sebagai kejahatan luar biasa.

 

  • Kriteria pertama, dampak viktimisasi yang sangat luas. Karena itu bapak/ibu yang mulia mengatakan bahwa narkotika ini merusak bangsa.
  • Kedua, bahwa dia merupakan kejahatan terorganisasi. Narkotika selalu dalam konteks kejahatan terorganisasi.
  • Ketiga, dia merupakan predicate crime dari money laundering, bahwa dalam kejahatan narkotika ada pencucian uang.
  • Keempat, ia membutuhkan hukum acara yang luar biasa untuk menanggulangi. Seperti yang kita kenal dengan undercover buying dan control delivery yang ada di UU Narkotika.
  • Kelima, dibutuhkan suatu Lembaga khusus yang memiliki kewenangan yang luas. Kita punya BNN. Oleh karena itu kami merespon yang dikatakan pemerintah bahwa BNN harus diberikan kewenangan yang luas karena ia memenuhi kriteria sebagai kejahatan luar biasa.
  • Keenam, bahwa narkotika ini memang lahir dari treaty crime, berdasarkan beberapa konvensi internasional yang mengatakan narkotika adalah crime under international law.
  • Ketujuh, ia merupakan pencelaan yang luar biasa. Oleh karena itu sudah berulangkali disampaikan bahwa ada dua hal yang harus kita kedepankan. Pertama, rehabilitasi. Kedua, penegakan hukum. Soal rehabilitasi, maka kita membagi ada rehabilitasi sosial dan rehabilitasi kesehatan. Di sini memang dalam draf yang kami ajukan adalah peran TAT yang sangat luar biasa karena terdiri dari APH dan kementerian kesehatan dan kementerian sosial. Tentunya kalau rehabilitasi dibebankan seluruhnya pada negara maka kita terbebani juga. Oleh karena itu bapak ibu di dalam draf ini persoalan rehabilitasi bisa dilaksanakan oleh masyarakat termasuk Lembaga swadaya masyarakat dan menggandeng pemerintah daerah.

Apakah kita berada dalam darurat narkoba? Iya. Data yang ada pada kami mengatakan bahwa 271 penghuni lapas itu 134 ribu adalah kejahatan narkotika. Ini di luar yang sedang diproses polisi (52.000). totalnya hampir 190.000. Ketika statistic criminal berkata 190.000 itu jangan dibaca 190.000. Ada teori yang namanya DEA (Drugs Enforcement Administration) yang berlaku di seluruh dunia yang berkata bahwa jumlah kejahatan yang bisa terungkap itu satu banding tujuh. Satu yang terungkap yang tujuh belum terungkap. Ketika ada statistic harus dikalikan 7 kali lipat. Itu menandakan betul-betul ada suatu darurat narkotika yang harus menjadi perhatian bagi kita semua.

Pertanyaan lebih lanjut apakah persoalan overcrowded ini dapat diatasi dengan rehabilitasi? Dengan tegas kami menyatakan iya, karena kita tidak usah jauh-jauh kita ke LP Cipinang saja, itu sekitar 3500, penghuni narkobanya 3000. 3000 itu penggunanya sekitar 2800. Jadi memang inisiatif pemerintah dalam menyusul RUU ini membalikan proses yang selama ini dilakukan. Kalau berdasarkan UU 35/2009, penegakan hukum berjalan, di ujung baru rehabilitasi. Ini dibalik. Rehabilitasi dulu di awal baru kemudian akan ditentukan.

Oleh karena itu peran tim asesmen  terpadu itu amat sangat sentral karena yang menentukan apakah orang akan direhabilitasi atau diproses hukum karena memang kita tahu persis bapak ibu yang Namanya pengguna narkotika itu crime without the victim. Victimless. Dia pelaku tapi sekaligus korban. Di dalam konteks ini, rehabilitasi sangat penting, karena kita harus memilah memisahkan pidana sebagai hukuman dan pidana sebagai suatu penyembuhan atau pendekatan.

Kalau ditanya apakah ini bisa merubah keadaan dalam memberantas narkotouika dengan tegas pemerintah menjawab iya karena dalam RUU ini kita mengedepankan rehabilitasi bukan pada titik akhir (hukum) tapi pada awal. Jadi meletakkan rehabilitasi itu sebagai suatu new paradigm dalam hukum pidana modern bahwa tidak lagi mengedepankan pada keadilan retributive yang menitikberatkan pembalasan tapi pada restorative dan rehabilitative pada pelaku dan korban. Kalau dia sebagai penggguna jangan mindset kita meletakannya sebagai seorang pelaku tapi juga korban.

Kami setuju bahwa war on drugs itu harusnya kepada bandar. Pengguna harus dipandang sebagai korban yang harus kemudian disembuhkan. Ketika kita berbicara mengenai new psychotropic substance, memang harus ada mekanisme yang jelas dalam penetapannya. Kalau setiap ada zat baru kita harus merubah UU DPR dan pemerintah habis kerjaan. Oleh karena itu kita menentukan di RUU ini bahwa asesmen pertama datang dari BNN karena BNN memiliki laboratorium untuk itu. Kemudian dalam jangka waktu satu minggu, Kementerian Kesehatan akan menetapkan apakah ini masuk dalam golongan psikotropika atau narkotika. Prosedur itu akan ditempu secara jelas untuk menjustify apakah suatu zat psikoaktif baru atau apa yang ditemukan itu seperti tembakau gorilla dan lain sebagainya itu termasuk dalam narkotika atau psikotropika.

Termasuk juga mengenai kanabis, memang sulit sekali karena kita harus pahami bersama mengapa saya katakan narkotika itu kejahatan yang unik. Kalau di dalam teori hukum pidana di itu masuk dalam hukum pidana khusus eksternal yang bukan UU pidana. Artinya tidak bisa serta merta kita menerapkan penerapan sanksi pidana terlebih dahulu. Mengapa? Dia ini sebetulnya masuk dalam hukum pidana khusus yang bukan UU pidana. Dia bersifat administratif, tetapi keunikannya dia masuk dalam kejahatan luar biasa.

Oleh karena itu ketika kita memperhatikan betul dentgan seksama, tujuan UU narkotika yang pertama dan utama itu bukan membasmi peredaran gelap narkotika, tapi yang petama adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pengetahuan dan kesehatan. Berarti ada aspek kesehatan di sini, sehingga memang tidak menutup kemungkinan pak Asrul kalau memang misalnya kanabis atau ganja untuk pengbatan itu bisa diakomodasi. Karena memang perdebatan itu sangat berat sekali, bahwa EU, Amerika Serikat itu ada beberapa negara bagian yang sudah melegalkan ganja.

Seorang dokter dari Stanford University bisa mengolah ganja menjadi suatu obat dan mereka melakukan penelitian bahwa tingkat bahaya ganja lebih ringan dari rokok sehingga beberapa negara bagian di AS melegalkan ganja. Tetapi di Thailand sendiri ganja hanya baru dilegalkan hanya untuk sebatas pengobatan sehingga hal-hal ini memang perlu secara hati-hati ketika kita bicara soal pengobatan menggunakan ganja dan lain sebagainya.

Tapi apa pun itu kami menangkap sinyal yang kuat bahwa kita memiliki frekuensi yang sama untuk bagaimana mendesain UU narkotika yang baru ini dengan mengedepankan satu sisi rehabilitasi terhadap pengguna, terhadap korban, tapi hukuman berat terhadap bandar dan pengedar. Ini tentunya kita membutuhkan seni tersendiri untuk memformulasikan setiap kalimat dan kata yang ada di dalam UU tersebut. Kami kira itu saja penjelasan singkat dari kami. Sekali lagi dengan rasa hormat yang sangat mendalam kami memberikan apresiasi terhadap anggota yang mulia karena menandakan ada frekuensi yang sama dan suatu political will pemerintah dan DPR untuk merumuskan suatu rancangan undang-undangan yang betul-betul bisa berlaku efektif.

 

  • Pangeran Khairul Saleh – Wakil Ketua Komisi II DPR RI / F-PAN / Kalsel I

Baik. Sebelum kita melakukan pembahasan dim nantinya kita akan melakukan kunjungan ke daerah, mungkin kita pilih Aceh Darusalam.

 

·      Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

 

Mohon maaf yang mulia. Kalau mau lihat suatu studi banding yang bagus untuk Komisi III mungkin Portugal. Portugal itu rehabilitasinya luar biasa.

  • Pangeran Khairul Saleh – Wakil Ketua Komisi II DPR RI / F-PAN / Kalsel I

Enaknya kita berangkatnya sama pemerintah sama pak Wamen. Sebelum pembahasan DIM kita akan membahas terlebih dulu terkait kategorisasi atau klasifikasi pelaku tindak pidana narkotika dan mekanisme yang akan dilakukan TAT. Kita juga akan melakukan pembahasan terhadap pelibatan tanggungjawab pemerintah daerah apa diperbolehkan daerah provinsi maupun tingkat dua membiayai korban narkotika ini. Dan selanjutnya kita juga akan melakukan FGD terhadap seluruh perspektif RUU Narkotika baik terhadap kesehatan, pencegahan, penegakan hukum, maupun kewenangan institusi terkait.

 

  • Arteria Dahlan, – Fraksi PDI Perjuangan

Kita paham betul maksudnya bahwa perubahan zat-zat ini memang sangat tepat. Kalau diantisipasi di UU, UU jadi sulit bergerak. Pertanyaannya dari sisi hukum, kalau lampiran in ikan bagian yang tidak terpisahkan dari UU itu sendiri. Bagaimana dengan pada saat ditemukan zat-zat baru kemudian BNN beserta instansi terkait menetapkan ini zat adiktif atau psikotropika, tapi lampirannya belum diundangkan. Memang kalau secara hukum itu masih diperkenankan?

  • Dr. Edward Omar Sharif Hiariej – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Kalau ada zat psikoaktif baru ia akan ditetapkan melalui peraturan Menteri Kesehatan dan peraturan tersebut dibuat terbuka dalam RUU ini. Kita tidak hanya menutup sebatas apa yang ada di lampiran tapi membuka peluang bahwa kalau ada zat psikoaktif baru itu akan ditetapkan oleh peraturan Menteri Kesehatan. Hal ini untuk menjembatani apa yang disampaikan oleh pak Arteria sangat sederhana tapi sangat prinsip.

 

  • Pangeran Khairul Saleh – Wakil Ketua Komisi II DPR RI / F-PAN / Kalsel I

Baik Bapak/Ibu hadirin yang berbahagia, saya rasa cukup pertemuan kita pada hari ini. Kalau sudsah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, saya selaku pimpinan mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan masukan pak wamen dan jajaran tim pemerintah lainnya. Demikian rapat saya nyatakan ditutup.

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)