Napak Tilas Tingginya HIV di Kalangan Konsumen Narkoba dan Penuh Sesaknya Penjara Kita: Dampak Pendekatan Pidana Kebijakan Narkoba di Indonesia

Oleh: Patri Handoyo, Rumah Cemara

Kebakaran di lapas, rutan, atau sebagai awam saya sebut “penjara” Rabu dini hari 8 September 2021 lalu, bukan yang pertama kali terjadi di negeri ini. Sederet peristiwa serupa setidaknya terjadi dalam lima tahun terakhir[1]. Tapi kali ini, kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang saya anggap luar biasa konyol sehingga harus ada perubahan sistematis karena memakan korban hingga 49 nyawa.

Ini tragis lantaran sulitnya mengevakuasi penghuni yang memang jumlahnya jauh melebihi kapasitasnya. Di penjara itu kapasitas huninya 600 narapidana, tapi dihuni 2.087 warga binaan[2].

Saya katakan tragis dan konyol karena, tidak mungkin pemerintah tidak tahu bahwa kebanyakan penjara di Indonesia kelebihan populasi. Hal ini sudah berlangsung setidaknya selama dua dasawarsa. Pada Februari 2007, misalnya, seluruh lapas dan rutan se-Indonesia dihuni 118.443 warga dengan kapasitas huni 76.550 warga. Padahal sepanjang 2002-2006 pemerintah telah membangun 13 lapas khusus narkotika baru[3].

Kelebihan populasi tentu turut berpengaruh pada layanan bagi penghuni yang meskipun statusnya narapidana, sejumlah hak masih melekat pada mereka seperti kesehatan.

Dalam kondisi penuh sesak, bisakah mereka menjaga jarak untuk mencegah penularan virus korona? Atau bagaimana cara mereka membersihkan diri secara memadai saat penjara ditempati lebih dari 200 persen kapasitas huninya[4]? Bagaimana mengawasi penghuni supaya tidak menggunakan alat konsumsi narkoba secara bergiliran yang potensial menularkan penyakit di tengah kekurangan aparat?

Menurut Sistem Database Pemasyarakatan milik Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, kapasitas huni seluruh rutan dan lapas se-Indonesia saat ini diperuntukkan bagi 135.561 warga. Sementara, penghuni dengan kasus narkoba baik yang dikategorikan sebagai pengguna maupun bandar/ pengedar jumlahnya 145.051 penghuni[5]. Dari kasus narkoba saja, penjara se-Indonesia sudah kelebihan penghuni.

Saya ingin kembali ke dua dasawarsa silam, saat HIV merebak di kalangan konsumen narkoba suntik termasuk di dalam penjara[6]. Kala itu, peningkatan jumlah tahanan dan narapidana kasus narkoba meningkat atas penegakan UU RI No. 5 dan 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Narkotika. Selain memperberat hukuman dari UU sebelumnya (No. 9 Tahun 1976), UU baru ini juga menambah ketentuan soal peran serta masyarakat.

Atas ketentuan itu, lahirlah organisasi-organisasi antinarkoba represif dengan nama-nama sangar. Sebutlah GRANAT (Gerakan Nasional Anti-Narkotika, berdiri 1999), GERAM (Gerakan Rakyat Anti-Madat, berdiri 1999), atau GANNAS (Gerakan Anti-Narkoba Nasional, berdiri 2007).

Kegiatan merekalah yang menjadi salah satu faktor terjadinya pemakaian alat suntik narkoba secara bergiliran karena sulitnya akses terhadap suntikan. Pemakaian bergiliran alat suntik, sebagaimana kita mafhum, sangat potensial menularkan penyakit dari virus darah seperti hepatitis C dan HIV.

Sebagai informasi, hingga akhir 1990-an, tidak ada masalah untuk membeli suntikan. Toko-toko obat termasuk di pelosok negeri akan memberi konsumen yang datang untuk membelinya. Harganya tentu saja sesuai pasaran saat itu, berkisar 300 hinga 500 rupiah per suntikan 1 ml yang lazimnya dibutuhkan pasien diabetes. Penyuntik putau pun biasa menggunakan suntikan jenis ini.

Selain operasi pemberantasan narkoba yang marak dilakukan aparat pascapengesahan UU Narkotika dan Psikotropika di penghujung dekade 1990-an itu, tentu saja aksi organisasi-organisasi aparat hukum wanna be berseragam lengkap dengan atribut nama, pangkat, dan mungkin nomor keanggotaan serta lambang Garuda Pancasila dan bendera Merah Putih membuat gentar para pengelola toko obat sehingga mereka kerap menolak pembelian suntikan.

Saat itu memang putau sedang marak dikonsumsi sebagian warga kota besar hampir di seluruh penjuru negeri. Termasuk, putra Ketua Umum GRANAT saat itu, Henri Yosodiningrat, menyuntik putau sampai harus dimasukkan ke panti rehabilitasi[7]. Jadi wajar saja kalau yang jadi salah satu sasaran aksi organisasi anti-narkoba itu adalah toko-toko obat yang menjual suntikan.

Tingginya prevalensi HIV di kalangan penyuntik narkoba di awal 2000-an serta kelebihan populasi penjara merupakan akibat pendekatan pidana kebijakan narkoba kita. Padahal sudah banyak kajian yang menunjukkan, negara-negara dengan kebijakan narkoba berpendekatan kesehatan masyarakat dan dekriminalisasi justru banyak menghemat anggaran negara untuk mengurus proses pidana dan pemenjaraan juga penanggulangan HIV di komunitas.

[1] Tri Irwanda. Penjara Penuh Sesak, Keselamatan Warga Binaan Dipertaruhkan. Rumahcemara.or.id 9 September 2021. Diakses 9 Septemberi 2021

[2] Kebakaran Lapas Tangerang, ICJR Soroti Over Kapasitas Napi. CNN Indonesia 8 September 2021. Diakses 9 September 2021

[3] Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia tahun 2001-2006. Badan Narkotika Nasional, 2007

[4] Kelebihan populasi dari kapasitas huni di Lapas Kelas 1 Tangerang per Agustus 2021 mencapai 247 persen – Penulis

[5] Sistem Database Pemasyarakatan per Agustus 2021. Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI. Diakses 9 September 2021

[6] Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA). Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan No. 567/Menkes/SK/VIII/2006 Tanggal 2 Agustus 2006

[7] Henry Yosodiningrat Buka-Bukaan Kabar Anaknya Gunakan Narkoba. Jawapos.com 10 April 2018. Diakses 9 September 2021

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)