Reformasi Kebijakan Narkotika

 

oleh: Pascal David Wungkana

Dekriminalisasi Narkotika

Dekriminalisasi narkotika merupakan jalan keluar yang harus ditempuh dalam reformasi kebijakan narkotika. Jumlah kasus narkotika di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Kapolri mengungkapkan bahwa terdapat 19.229 kasus narkotika dengan 24.878 tersangka sepanjang tahun 2021.[1] Jika dibandingkan dengan tahun 2019, kasus narkotika mengalami peningkatan 3,24%.[2]

Banyaknya kasus turut menyumbang terjadinya kelebihan penghuni pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Pada Mei 2021, angka kelebihan penghuni mencapai 131,077% di mana tahanan kasus narkotika adalah yang paling banyak.[3] Menteri Hukum dan HAM bahkan mengungkapkan bahwa situasi over kapasitas turut membebani anggaran negara sebesar Rp 180 miliar per tahun.[4]

Pemberantasan narkotika pada praktiknya menjadikan para pemakai narkotika sebagai sasaran utama. Kelompok ini kebanyakan merupakan orang-orang kelas menengah ke bawah. Padahal, pemberantasan narkotika yang digaungkan pemerintah adalah upaya pencegahan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi, dan pemberantasan bandar narkotika.[5] Namun, realita kelebihan penghuni Lapas menunjukan sebaliknya. Para pemakai narkotika lebih mudah dijerat dengan berbagai cara ketimbang para bandarnya. Kebijakan “Perang terhadap narkotika” nyatanya tidak memengaruhi penurunan kasus narkotika.

Relaksasi Larangan dan Legalisasi Akses

Narkotika tidak sepenuhnya berdampak buruk. Penelitian-penelitian perguruan tinggi Amerika Serikat menunjukan bahwa pada negara bagian yang melegalkan marijuana, angka ketergantungan dan kematian akibat overdosis opiod jauh lebih rendah daripada negara-negara bagian yang melarang marijuana.[6] Di Aceh, tanaman ganja dapat dijadikan mata pencaharian yang memberikan keuntungan pada petani ganja.[7]

Permasalahannya di Indonesia, penggolongan narkotika terlalu ketat dan tidak memberikan ruang bagi publik untuk mengembangkan penelitian terhadap beberapa jenis narkotika. Bahkan, narkotika golongan I pun dilarang pada penggunaan medis. Relaksasi penggolongan terhadap beberapa jenis narkotika dapat membuka ruang tersebut. Bisa jadi ganja dapat berguna pada kesehatan dengan resep dokter dan pemakaian yang teratur. Pada akhirnya, hasil penelitian dan produksinya tetap harus sesuai izin Balai Pengelolaan Obat dan Makanan (BPOM) sehingga pemerintah masih punya kontrol atas peredarannya.

Dengan adanya pengaturan terhadap produksi narkotika tertentu, maka pemerintah dapat mengendalikan peredaran narkotika untuk kegunaan medis dan bahkan rekreasi. Sebagaimana rokok dan alkohol yang juga memiliki dampak pada kesehatan konsumennya, demikian juga narkotika. Yang membedakan adalah produksi narkotika tidak dipasarkan untuk konsumsi dan mengedarkan atau memilikinya adalah suatu kejahatan. Legalisasi akses terhadap narkotika juga merupakan syarat utama penerapan dekriminalisasi narkotika.

Kebijakan narkotika di Indonesia fokus mengatur pemidanaan terhadap pemakai, bukan mengatur pemakaian yang baik. Pendekatan “perang terhadap narkoba” dan inkompentensi penegak hukum menjadikan hukum narkotika yang diskriminatif dan tidak solutif. Kebijakan narkotika yang berorientasi pada kesehatan, ekonomis dan administrative perlu diambil.

 

[1] Ardito Ramadhan, Polri Ungkap 19.229 Kasus Narkotika Sepanjang 2021, Sita Barang Bukti Senilai Total Rp 11,66 Triliun, https://nasional.kompas.com/read/2021/06/16/13301571/polri-ungkap-19229-kasus-narkotika-sepanjang-2021-sita-barang-bukti-senilai, diakses pada 10 Desember 2021.

[2] Redaksi Radar, Jumlah Kasus Narkotika Naik 3,24% Dibanding Tahun Lalu, https://www.radaronline.id/2020/12/23/jumlah-kasus-narkotika-naik-324-dibanding-tahun-lalu/, diakses pada 10 Desember 2021.

[3] Arie Dwi Satrio, Lapas Kelebihan Kapasitas hingga 131%, Terbanyak Narapidana Kasus Narkotika, https://nasional.okezone.com/read/2021/05/07/337/2407159/lapas-kelebihan-kapasitas-hingga-131-terbanyak-narapidana-kasus-narkotika, diakses pada 10 Desember 2021.

[4] Zaky Yamani, Beban Negara Akibat Kriminalisasi Pemakai Narkotika, https://www.dw.com/id/beban-negara-akibat-kriminalisasi-pemakai-narkotika/a-44963889, diakses pada 10 Desember 2021.

[5] Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2011-2015.

[6] Jeffrey A. Singer, Harm Reduction: Shifting from a War on Drugs to a War on Drug-Related Deaths, Washington D.C., Cato Institute, 2018, hlm. 11.

[7] Wacana legalisasi ganja: Dapatkah ganja membantu mengentaskan kemiskinan?, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51356295, diakses pada 11 Desember 2021.

Share this Post:

Tentang Kami

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi 17 organisasi yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 352009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terdiri dari: ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)